Anak Tak Nikmati Film 3D Kesukaannya? Bisa Jadi Gara-gara Mata Malas

Jakarta - Bila dibandingkan menonton film dengan format biasa atau dua dimensi (2D), pengalaman menonton film tiga dimensi (3D) di bioskop tentu lebih berkesan. Namun tidak semua orang bisa menikmatinya.

Association of Optometrists (AOP) AS mengingatkan banyak gangguan penglihatan pada anak yang tidak terdeteksi karena di usia mereka yang masih sangat muda, anak-anak tidak sadar jika penglihatannya tidak normal.

Untungnya para pakar dari AOP mengatakan, mengajak anak menonton film 3D bisa jadi cara jitu untuk mengetahui apakah seorang anak mengalami gangguan penglihatan ataukah tidak.

"Sebab untuk merasakan efek film 3D sepenuhnya, seseorang perlu memiliki penglihatan binokular yang baik, di mana kedua mata sama-sama bisa bekerja dengan baik," jelas Henry Leonard dari AOP, seperti dilaporkan Daily Mail.

Lain halnya bila keseimbangan ini terganggu. Dampaknya akan langsung terasa pada mata, yaitu penglihatan yang berkurang atau sering disebut sebagai amblyopia (mata malas).

Baca juga: Ini Alasan Juling pada Anak Sering Dikaitkan dengan Mata Malas 

Henry menambahkan, yang perlu diwaspadai adalah, gejala mata malas yang terlihat pada satu mata. Kondisi semacam ini seringkali lebih sulit dideteksi ketimbang jika terjadi pada kedua mata.

Namun bila anak mengeluh saat menonton film 3D, orang tua setidaknya sudah tahu harus berbuat apa untuk memastikan gangguan penglihatan seperti apa yang dialami si kecil, dan apakah terjadi pada satu sisi mata saja ataupun dua-duanya.

Apalagi jika anak juga mengeluh pening dan kepalanya pusing disertai nyeri pada mata. Bila gejala-gejala ini sudah muncul, orang tua sebaiknya tidak menunda-nunda untuk membawa si anak ke dokter mata.

Baca juga: Matanya Dibiarkan Minus, Anak Bisa Kena Low Vision Lho 

Menariknya, di tahun 2015 seorang peneliti bernama dr Eileen E Birch dari University of Texas Southwestern Medical Center menemukan, menonton film 3D terbukti dapat membantu mengobati mata malas pada anak. Hanya dalam rentang dua minggu terapi, partisipan memperlihatkan kondisi visual yang jauh lebih baik dari sebelumnya.

"Cara ini bahkan lebih efektif daripada melakukan tambal pada mata ataupun dengan menggunakan kacamata," jelas Brich. (lll/vit)