Masuk Tiga Pilar Utama Pengobatan Kanker, Radioterapi Kurang Dikenal

Masuk Tiga Pilar Utama Pengobatan Kanker, Radioterapi Kurang Dikenal

- detikHealth
Rabu, 05 Nov 2014 06:56 WIB
Masuk Tiga Pilar Utama Pengobatan Kanker, Radioterapi Kurang Dikenal
Yogyakarta - Dari hasil Riskesdas 2007 terungkap bahwa prevalensi kanker di Indonesia adalah 4,3 per 1.000 penduduk. Bahkan di beberapa daerah, prevalensi ini bisa lebih tinggi. Namun fasilitas pengobatan kanker di Indonesia pun belum memadai.

Seperti diungkapkan wakil presiden perhimpunan profesi onkologi radiasi se-Asia Tenggara, Prof Dr dr Soehartati A Gondhowiardjo, SpRad(K), OnkRad.

"Begitu ada BPJS, makin banyak pasien yang ketahuan kanker, tapi karena keterbatasan alat radioterapi, mereka tidak bisa mendapatkan terapi yang dibutuhkan," katanya dalam jumpa pers ESTRO Course 2014 di Fakultas Kedokteran UGM, seperti ditulis Rabu (5/11/2014).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Padahal dalam tiga pilar pengobatan kanker (operasi, radiasi, kemoterapi), radioterapi memegang peranan sebesar 60-70 persen. "This radical cancer treatment produces important survival benefit for patients. Katakan ada 100 pasien kanker di Eropa, separuhnya bisa sembuh atau setidaknya kankernya terkontrol karena radioterapi," timpal Dr Rafal Dziadziuszko dari Medical University of Gdansk, Polandia.

Dr Rafal merupakan salah satu pembicara dalam ESTRO Course 2014, yang kali ini bertempat di Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta dan diselenggarakan mulai tanggal 2-6 November 2014.

"Di negara-negara maju, teknologi ini mendapat perhatian pemerintah karena untuk teknologi yang seperti ini, tim medis memerlukan kelengkapan fasilitas. Untuk bisa menyembuhkan sebanyak mungkin pasien, pemerintah perlu memperhatikan ini," imbuhnya.

Barbara Jereczek-Fossa, MD, PhD dari University of Milan menambahkan radioterapi ini tak ubahnya virtual surgery, sangat tidak invasif, tidak menimbulkan rasa sakit, tidak membutuhkan anestesi atau obat bius, serta tidak meninggalkan efek samping.

"Efek sampingnya paling hanya pada reaksi kulit. Cuaca di Indonesia kan hangat, lembab, jadi setelah diradioterapi, kulitnya agak berubah, tapi itu tidak berbahaya," timpal Prof Soehartati.

Untuk itulah Prof Soehartati merasa keberadaan 28 pusat radioterapi di Indonesia dirasa belum cukup. Pusat radioterapi yang sudah ada pun menurutnya harus segera di-upgrade fasilitasnya.

"Sejauh ini yang sudah ada teknologi Intensity Modulated Radiation Therapy (IMRT) dan image-guided microbeam radiation therapy di Jakarta baru ada 3, RSCM dan dua di swasta, lalu di Malang dan Medan. Tapi kalaupun kita menemukan kasus kanker yang perlu diradioterapi, kita bisa referral ke rumah sakit yang memiliki fasilitas ini," pungkasnya.

ESTRO Course digelar oleh European Society for Radiotherapy and Oncology (ESTRO) untuk memberikan edukasi kepada para dokter, terutama di bidang radioterapi dan onkologi atau kanker berikut pengobatannya. ESTRO Course 2014 ini diikuti peserta dari berbagai negara di Asia Tenggara, Jepang, India, Pakistan dan Australia.

(lil/up)

Berita Terkait