Petugas Medis, Perawat dan Sopir Ambulans yang Jadi Pahlawan Ebola

Young and Healthy

Petugas Medis, Perawat dan Sopir Ambulans yang Jadi Pahlawan Ebola

Rahma Lillahi Sativa - detikHealth
Senin, 15 Jun 2015 15:03 WIB
Petugas Medis, Perawat dan Sopir Ambulans yang Jadi Pahlawan Ebola
Monrovia -

Selain Dr Kent Brantly, masih ada empat pahlawan lain yang berjasa besar bagi penanganan awal wabah Ebola di Afrika Tengah. Bermodal fasilitas seadanya, orang-orang muda ini mengerahkan kemampuan mereka untuk merawat pasien Ebola.

Pertama, Dr Jerry Brown (46). Ketika mendengar Ebola mulai masuk ke negaranya, Liberia, ia mengaku tak tahu-menahu tentang virus ini. Hingga akhirnya apa yang ia takutkan terjadi, dan pasien Ebola mendatangi rumah sakit yang dipimpinnya, Eternal Love Winning Africa (ELWA) di Monrovia.

Setelah sempat melakukan riset singkat, Dr Jerry menemukan bahwa pasien Ebola harus diisolasi, tapi tak ada satupun rumah sakit di Liberia yang memiliki unit isolasi semacam ini. Hal ini memaksanya untuk menyulap kapel yang ada di rumah sakit menjadi ruang isolasi, dengan enam tempat tidur.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun pasien terus berdatangan, dan korban meninggal hampir setiap hari. Putar otak, Dr Jerry kemudian terpaksa menjadikan dapur dan ruang cuci sebagai ruang isolasi yang diisi oleh 20 tempat tidur. Tak sampai seminggu, pasien meluber hingga ke koridor dan basement, dan memaksa Dr Jerry untuk mengubah ruang rawat jalan sebagai tempat isolasi.

Baca juga: dr Kent Brantly, Survivor yang Juga Dokter Pahlawan Ebola

Kepanikan yang dialami Dr Jerry belum seberapa bila dibandingkan dengan perjuangan tim dari Doctors Without Borders (MLF). Kebetulan faskes yang terdekat dengan sumber pertama penyebaran Ebola di Guinea menghubungi markas MSF di Jenewa ketika menerima sejumlah pasien dengan gejala demam tinggi.

Meski awalnya mengira ini bukan Ebola, tim MSF langsung merespons panggilan tersebut mengirimkan semacam tim SWAT untuk mengatasi penyakit tersebut ke Guinea, salah satunya Ella Watson-Stryker (34). Sesampainya di sana, ia bergabung dengan sejumlah dokter MSF yang pernah menangani wabah Ebola.

Mereka pun berkonvoi masuk ke hutan Guinea untuk mencari dan mengobati pasien sembari mencoba memberikan pemahaman tentang apa itu Ebola dan bagaimana mencegahnya.

Masalahnya, infrastruktur yang mereka hadapi sangatlah buruk, bahkan mereka baru bisa mencapai klinik di Gueckedou, di mana paling banyak menangani korban Ebola waktu itu, dua hari kemudian. Di sanalah Ella dan rekan-rekannya mulai turun tangan membantu.

"Saya patah hati di Guinea, karena dalam seminggu, saya harus mengubur 9 orang sekaligus," keluhnya. Belum lagi, tim dari Ella juga tidak diterima dengan baik di tengah masyarakat.

Seperti halnya Dr Kent, Foday Gallah juga pernah merasakan pahitnya diserang virus Ebola. Petugas ambulans ini mengisahkan, saat itu ia diminta menjemput satu keluarga besar yang terjangkit Ebola di Monrovia. Awalnya ia hanya mengambil seorang ibu dan dua anaknya, karena gejala demam mereka yang paling buruk. Namun tak berapa lama, Foday dipanggil kembali ke rumah itu, dan gantian memindahkan sang kepala rumah tangga, nenek, dan dua anaknya.

Tinggallah satu anak kecil seorang diri di rumah tersebut. Ia lantas memberikan pesan pada tetangga si anak kecil, jika anak itu menunjukkan gejala serangan, ia diminta segera menghubungi Foday. "Benar saja, saat saya dipanggil, ia sudah terbaring di lantai dan di kanan kirinya ada muntahan. Ia juga dehidrasi, lemas dan nyaris tak bisa bergerak," kata Foday.

Dengan cepat, pria berumur 37 tahun itu memakai seragam pelindung dan menggendong si anak, yang tiba-tiba memuntahinya. Berkat Foday, bocah itu terselamatkan. Sayangnya beberapa hari kemudian, gantian Foday yang demam, dan merasakan sakit di kepalanya. "Pusing karena Ebola tidak bisa reda. Anda minum ibuprofen, sakitnya malah meninggi," keluhnya seperti dikutip dari TIME, Senin (15/6/2015).

Baca juga: Cegah Penularan Baru, Liberia Minta Survivor Ebola 'Puasa' Bercinta

Hal serupa juga dialami Salome Karwah (26), perawat di sebuah klinik di dekat bandara Monrovia ini mengaku sempat terserang Ebola ketika pamannya yang terinfeksi menulari seluruh keluarga mereka. Tak berapa lama, Salome harus tabah melihat kedua orang tuanya meninggal saat mereka dirawat di sebuah pusat pengobatan Ebola yang dikelola MSF.

"Saya merasa semuanya telah berakhir," tuturnya. Hanya saja Salome bersyukur karena dirinya, saudara perempuan, keponakan, dan tunangannya berhasil sembuh dari wabah ini. Hingga kemudian, MSF mencari sejumlah survivor Ebola untuk dipekerjakan di pusat pengobatan mereka.

"Tuhan pasti sengaja menghidupkan saya karena ada alasannya," yakin Salome. Ia pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu dengan menjadi survivor Ebola pertama yang berkenan menuruti ajakan MSF untuk membantu pemulihan para korban, terutama menguatkan kondisi mental mereka.

Bersama Dr Kent Brantly, Dr Jerry Brown, Ella Watson-Stryker, Foday Gallah dan Salome Karwah juga terpilih sebagai Person of The Year 2014 oleh Majalah TIME.

(lll/vit)

Berita Terkait