Menanggapi hal ini, psikolog klinis dewasa, Wulan Ayu Ramadhani, M. Psi, mengatakan bahwa menyebarkan foto atau video korban sebenarnya tidak etis untuk dilakukan. Terlebih jika video tersebut sampai kepada keluarga maupun orang yang mengenal dekat dengan korban.
"Keluarga bisa saja masih shock atau stres atau trauma atau bisa jadi bahkan belum bisa menerima kejadian tersebut," kata Wulan, panggilan akrabnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Ledakan Pabrik Kembang Api di Kosambi Bisa Berefek pada Gangguan Pendengaran
Kendatipun orang lain yang melihat dan tidak memiliki hubungan dengan korban, tentu bisa memiliki dampak. Wulan menyebut, manusia memiliki kemampuan untuk memroses gambar, cerita, ataupun video sehingga seolah-olah mengalami langsung kejadian tersebut.
"Jadi, bisa saja terjadi secondary trauma. Orang yang melihat bisa mengalami trauma seakan-akan ia yang mengalami langsung kejadian tersebut, meskipun tidak semua orang akan mengalami hal ini karena efeknya bisa sangat beragam," ujar pemilik akun Twitter @wulanayur.
Efek lainnya, menurut Wulan adalah adanya kecemasan yang ditularkan. Jika pada awalnya unggahan foto atau dimaksudkan orang untuk berhati-hati dalam bermain kembang api (pada konteks keseharian -red), bisa jadi malah berdampak lain.
Selain itu bisa juga hilangnya empati karena ada proses pembiasaan. Alhasil, menyebarkan foto atau video korban menjadi hal yang biasa.
"Yang awalnya menyebarkan karena ingin membuat orang lain waspada, malah jadi sekedar ingin menyebarkan bahwa 'saya punya foto atau video-nya'. Akhirnya rasa empati dan kepekaan terhadap korban menjadi memudar dan akhirnya respon emosinya pada situasi seperti itu menjadi tidak tepat," tegas Wulan.
Baca juga: Ledakan Kosambi, Begini Pertolongan Pertama pada Korban Luka Bakar Parah (hrn/up)











































