Menurut dr Grace Judio-Kahl dari klinik obesitas Light House, BMI atau body mass indexnya harus dilihat terlebih dahulu untuk menentukan klasifikasi obesitasnya berada di tingkatan apa. Baru kemudian bisa dicari kemungkinan penyebabnya.
"WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) punya task force untuk obesitas. Melihat data dari semua orang dengan tinggi dan berat kemudian semua problem kardiovaskularnya lalu dibuat secara statistik yang risikonya tinggi. Dari sana dibuatlah klasifikasi BMI," ujarnya saat ditemui di daerah Jakarta Selatan, Rabu (9/1/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Underweight < 18,5 kg/m2
Normal 18.5-22,9 kg/m2
Overweight: 23 kg/m2
Berisiko 23-24,5 kg/m2
Obese I 25-29,9 kg/m2
Obese II≥ >30 kg/m2
Semasa muda, Titi Wati juga pernah kurus. Foto: Titi Wati saat usia 21 tahun (IST) |
dr Grace menambahkan, untuk kasus Titi BMI-nya bisa jadi antara 80 sampai 90-an, sangat terlampau amat jauh dari angka tersebut.
"Tetapi kalau dari penyebabnya, bisa juga secara genetik. Seperti mutasi kromosomal yang dari kecil. Beratnya juga kelihatan dari lahir seperti bentuk muka, atau tangan atau kelainan pertumbuhan," tambahnya.
Kemudian ada gangguan hormonal, gangguan ini bisa dicek dan ada terapinya seperti tiroid. Salah satu hal yang membuat orang gampang naik berat badannya. Tapi nggak sampai yang morbidly obese, karena tiroid itu fungsinya berperan dalam metabolic rate atau pemakaian energi sehari," sambungnya
Selain itu, dr Grace mengatakan kelainan hormonal juga bisa menjadi penyebab obesitas ekstrim. Hal itu bisa menjadikan berat badan lebih cepat naik dan susah turun daripada orang lain.
"Tapi biasanya tidak berdiri sendiri. Semua kelainan itu disertai dengan problem lingkungan, misalnya diajarkan untuk selalu makan atau setiap stres larinya ke makanan atau karena pekerjaannya dan lain lain," pungkasnya.












































Semasa muda, Titi Wati juga pernah kurus. Foto: Titi Wati saat usia 21 tahun (IST)