Peredaran obat palsu sebetulnya bukan kasus baru di masyarakat. Terkait hal ini Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi mengingatkan Badan Pengusaha Obat dan Makanan (BPOM) lebih peka dalam melakukan pengawasan.
"BPOM harus lebih peka ya. Tiap produsen dan PBF harus menyerahkan laporan tiap 3 bulan pada BPOM yang antara lain berisi kepada siapa obat dijual, berapa jumlahnya, harganya, tahapan produksi, dan bahan baku. Laporan harus dibaca dengan cermat sehingga bisa segera tahu jika ada kasus obat palsu," kata Ketua Komite Perdagangan dan Industri Bahan Baku Farmasi GP Farmasi Vincent Harijanto.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengawasan yang dilakukan BPOM sebetulnya sudah cukup baik. Apalagi menurut Vincent, ada rencana penerapan QR Code pada setiap produk obat dari produsen yang dijual lewat PBF resmi. Penerapan QR Code memudahkan pengawasan peredaran obat yang menjamin keaslian dan kualitas produk di masyarakat.
Meski begitu, pengawasan harus bisa mengimbangi kasus obat palsu yang terus ditemukan di masyarakat. Vincent mengatakan, obat palsu bisa dibuat siapa saja dengan kualitas yang makin baik sehingga tidak bisa dibedakan konsumen. Pengawasan yang baik menjamin masyarakat selalu mendapat obat yang baik dan asli.
Diberitakan sebelumnya, Pedagang Besar Farmasi (PBF) PT JKI mengemas ulang obat-obat generik dan kedaluwarsa menjadi obat bermerek dengan harga lebih mahal. Obat-obat palsu ini disalurkan ke beberapa apotek di Jabodetabek. BPOM telah merekomendasikan pencabutan izin untuk PBF tersebut.
(up/up)











































