Akibat varian Delta, China kembali hadapi lonjakan kasus COVID-19 dan mencatat rekor kasus COVID-19 harian tertinggi sejak Januari. Mengatasinya, pemerintah China kembali menerapkan taktik lockdown di mana akses ke kota berpenduduk 1,5 juta orang diputus, penerbangan dibatalkan, sembari pengujian massal dijalankan di sejumlah wilayah.
Tahun lalu, China sudah menerapkan lockdown 'tanpa toleransi' untuk memblokir infeksi baru dari luar negeri. Langkah ini sempat efektif menekan kasus infeksi virus Corona di China. Akan tetapi, strategi ini dinilai mematikan ekonomi masyarakat.
Ekonomi kesehatan di Yale School of Public Health. Xi Chen, menilai, China perlu mengganti metode penanganan pandemi COVID-19. Misalnya, perluasan vaksinasi dengan membuka akses ke merk vaksin selain produksi China, seperti vaksin COVID-19 yang dikembangkan BioNTech. Dengan begitu ia berharap, aktivitas ekonomi bisa tetap berlangsung.
"Saya tidak berpikir taktik lockdown 'tanpa toleransi' dapat dipertahankan," kata Chen, dikutip dari AP News, Kamis (5/8/2021).
"Bahkan jika Anda dapat mengunci semua wilayah di China, orang mungkin masih mati. Semakin banyak lagi yang mungkin mati karena kelaparan atau kehilangan pekerjaan," lanjutnya.
Masyarakat 'panic buying', harga bahan pokok naik
Misalnya di kota Yangzhou, anak-anak di 2 pusat bimbingan belajar kini dikarantina setelah teman sekelasnya dinyatakan positif. Menurut seorang mahasiswa, Zhou Xiaoxiao, beberapa bagian kota kini disegel.
Selain itu, harga bahan pokok, misalnya telur, kini meningkat. Stok mulai langka lantaran diborong masyarakat yang panik mengantisipasi dilanjutkannya lockdown. Menurut Zhou, ada rumah tetangga yang mulai menerima bantuan berupa beras kiriman pemerintah.
"Harga sayur naik. Itu bukan apa-apa bagiku. Tetapi untuk jenis keluarga yang hidupnya tidak terlalu baik dan tidak memiliki penghasilan, itu sangat merepotkan," kata Zhou.
Di lain kota, misalnya Nanjing, sebagian besar orang yang terinfeksi telah divaksinasi dan hanya sedikit pasien yang bergejala berat. Kepala unit perawatan kritis di RS Universitas Tenggara Kota, Yang Yi, mengklaim bahwa hal tersebut disebabkan vaksin bersifat protektif.
Mengingat, sejumlah pihak menilai efikasi vaksin buatan China lebih rendah dibanding merek vaksin lainnya.
Simak Video "Video: Sembuh dari Covid Bukan Berarti Aman"
(vyp/up)