Indonesia Corruption Watch (ICW) menanggapi penetapan harga eceran tertinggi (HET) terkait tes PCR oleh Kementerian Kesehatan. Diketahui, HET tes PCR di Jawa-Bali saat ini adalah Rp 495 ribu, sedangkan untuk luar Jawa-Bali Rp 525 ribu.
Menurut peneliti ICW, Wana Alamsyah, penetapan harga tersebut harus dibarengi dengan detail informasi dari masing-masing harga setiap komponen dalam pemeriksaan PCR. Pasalnya, ia merasa pemerintah kurang transparan dalam menyampaikan informasi terkait penanganan COVID-19, khususnya harga tes PCR.
Berdasarkan data ICW, dari Oktober 2020 sampai 15 Agustus 2021, total ada 25.840.025 spesimen yang diperiksa di sejumlah lab di Indonesia. Dalam rentang waktu tersebut, HET tes PCR masih berada di harga Rp 900 ribu sesuai dengan SE Nomor HK.02.02/1/3713/2020.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Perhitungan secara kasar, jika kita menghitung atau mengkalkulasi jumlah spesimen yang diperiksa dikalikan dengan pemeriksaan paling tinggi 900.000. Setidaknya ada perputaran uang sebesar Rp 23,2 triliun," kata Wana dalam webinar Lapor COVID-19, Jumat (20/8/2021).
Kemudian saat ini HET tes PCR diturunkan menjadi Rp 495 ribu di Jawa-Bali, dan Rp 525 ribu di luar Jawa-Bali. Menurut Wana, penurunannya mencapai 45 persen dari harga yang ditetapkan pada tahun 2020.
"Artinya, bisa jadi selisih harga ini merupakan sebagian keuntungan yang didapatkan oleh fasilitas kesehatan, atau laboratorium yang menyediakan pemeriksaan PCR," klaim Wana.
"Apabila ini merupakan suatu profit yang didapatkan, ini tentunya sangat besar sekali. Dan rasanya dalam Surat Edaran tersebut pemerintah tidak pernah menyampaikan atau menetapkan berapa sebenarnya harga, atau persentase yang boleh didapat oleh penyedia jasa," lanjutnya.
Selain itu, Wana menilai selama ini pihak Kemenkes selalu mengatakan mahalnya harga tes PCR disebabkan oleh beberapa komponen yang memang harganya cukup tinggi, seperti reagen.
Berikut daftar harga reagen pada tahun 2020, berdasarkan data yang diolah ICW.
April:
- Intron: Rp 200 ribu
- Toyobo: Rp 200 ribu
- Sansure: Rp 345 ribu.
Mei:
- SD Biosensor: Rp 195 ribu.
Juni:
- Intron: Rp 180-200 ribu.
Agustus:
- Kogene: Rp 280 ribu.
Oktober:
- Intron: Rp 180 ribu.
"Ketika Kemenkes bilang reagen mahal, mahalnya seberapa? Dan apa mereknya, dan kapan pembelian tersebut dilakukan?" kata Wana.
"Jika kita asumsikan bahwa di Oktober itu harga reagennya Rp 180 ribu, rasanya berdasarkan asumsi kami jangan-jangan di tahun 2021, harga reagen ini cenderung menyusut lagi, bukan hanya Rp 180 ribu. Ini yang menjadi tanggung jawab Kemenkes untuk menyampaikan informasinya," jelasnya/
Memang apa saja komponen-komponen yang dihitung oleh Kemenkes dalam penetapan harga tes PCR? Klik halaman selanjutnya.
Pada Senin (18/8/2021) kemarin, Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes, Prof Abdul Kadir, menjelaskan sejumlah komponen yang dihitung dalam penetapan harga tes PCR.
"Jadi yang kita hitung itu mulai daripada pembelian alatnya, harga regimennya, biaya SDM-nya, depresiasi alatnya, dan juga overhead-nya, biaya administrasi kita hitung semua," kata Prof Kadir dalam konferensi pers Kemenkes.
"Jadi semua komponen-komponen itu kita hitung, kemudian kita dapatkan unit cost-nya kemudian kita tambahkan margin profit kepada swasta itu sekitar 15-20 persen, sehingga didapatkanlah hasil akhirnya 495 ribu," sambungnya.
Kenapa baru sekarang harga tes PCR diturunkan?
Menurut Prof Kadir, penurunan harga ini baru bisa direalisasikan karena adanya penurunan harga reagen dan bahan habis pakai. Misalnya, seperti reagen dan juga barang habis pakai.
"Jadi pada tahap-tahap awal, harga reagen yang kita beli itu harganya masih tinggi. Bukan cuma reagennya saja, tetapi harga barang habis pakainya juga masih mengacu pada tahap awal-awal terjadinya pandemi, seperti masker dan baju hazmat," jelasnya.
Lebih lanjut, kata Prof Kadir, tak menutup kemungkinan harga tes PCR ini akan turun kembali nantinya. Namun, dengan syarat, harga barang-barang yang diperlukan juga mengalami penurunan.











































