Kementerian Kesehatan RI memprediksi puncak kasus Corona di Indonesia bakal terjadi dua hingga tiga pekan lagi. Jumlahnya diyakini melebihi puncak kasus COVID-19 gelombang Delta yang melaporkan 57 ribu kasus, Juli 2021 lalu.
Perhitungan pakar epidemiologi Universitas Griffith Australia, puncak kasus Omicron di Indonesia bisa mencapai 500 ribu kasus. Namun, dengan keterbatasan testing dan tracing, kemungkinan pemerintah hanya mampu mendeteksi sekitar 100 ribu kasus.
"Iya setidaknya dengan kapasitas testing kita, tracing kita, itu bisa terdeteksi di atas 100 ribu. Kalau lebih baik lagi testing tracingnya, ya sebenarnya bisa lebih," beber Dicky saat dihubungi detikcom Jumat (11/2/2022).
"Ini bukan berarti kasus di masyarakat (jumlahnya) segitu ya, kasus di masyarakat jauh lebih tinggi dan ini memang tak terelakkan untuk kasus Omicron. Namun, karena sebagian besar bergejala ringan ataupun tak bergejala, testingnya tidak akan begitu masif," tandas dia.
10 persen membebani fasilitas kesehatan
Dicky mewanti-wanti, di puncak kasus Omicron bakal banyak orang yang mendatangi fasilitas kesehatan. Jika pemerintah tidak sigap, tentu potensi peningkatan kasus COVID-19 meninggal dunia sulit dihindari.
"Bisa terdeteksi 100 ribu, dengan 10 persennya akan membebani fasilitas kesehatan. (Puncak Omicron) cenderung akan singkat memang, katakanlah kurang dari satu minggu," sebut Dicky.
"Tapi ingat, ini kan bicara satu proses penyebaran cepat dan singkat, akan memerlukan mitigasi yang kuat dan cepat," sambungnya.
Risiko kematian tetap tinggi
Risiko kematian COVID-19 tetap tinggi disebut Dicky bakal terjadi jika tak ada mitigasi yang dilakukan sejak dini.
"Kalau tidak (disiapkan), dampak korbannya akan serius. Banyak orang tidak tertolong, banyak korban tidak bisa mendapatkan akses, karena dalam waktu singkat bisa banyak sekali yang datang ke faskes," jelasnya.
"Dan ini kalau tidak dimitigasi sejak sekarang, tidak ada penyaringan, ini akan membludak, potensi kematian juga tinggi tetap ada," tegasnya lagi.
(naf/up)