Menguak Perkara Stunting, Pakar Sorot Calon Pengantin Jauh dari Siap

Menguak Perkara Stunting, Pakar Sorot Calon Pengantin Jauh dari Siap

Vidya Pinandhita - detikHealth
Jumat, 21 Okt 2022 10:15 WIB
Menguak Perkara Stunting, Pakar Sorot Calon Pengantin Jauh dari Siap
Penyebab stunting menurut dokter, salah satunya ketidaksiapan pasutri terhadap kehamilan. Foto: Rifkianto Nugroho
Jakarta -

Sembari diterpa beragam tantangan ranah kesehatan mulai dari pandemi COVID-19 hingga penyakit yang baru-baru ini merebak yakni gangguan ginjal akut misterius pada anak-anak, Indonesia masih tak luput dari perkara stunting. Pasalnya, penyelesaian perkara stunting tak semudah membalikkan telapak tangan. Sebagaimana sorotan banyak pihak, kondisi kurang gizi ini anak ini berpotensi merembet pada kualitas hidup seperti kondisi fisik hingga kecerdasan kognitif.

Corporate Medical Affairs Danone Indonesia, Dr dr Ray Wagiu Basrowi, MKK menjelaskan, stunting adalah kondisi panjang atau tinggi badan anak berada di bawah rata-rata seumurannya.

Dalam jangka waktu pendek, orang dengan stunting mengalami perkembangan otak dan tumbuh kembang yang tidak optimal. Sementara pada jangka waktu panjang, kondisi tersebut berisiko memicu gangguan kognitif dan IQ yang lebih rendah daripada orang dewasa lain yang tidak mengalami malnutrisi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Perlu diperhatikan bahwa kekurangan gizi tidak hanya berdampak pada penurunan berat badan tetapi berkurangnya asupan energi ke otak. Pertumbuhan otak 80 persen terjadi ketika dua tahun pertama pertumbuhan anak, sehingga selama periode ini penting bagi anak mendapatkan asupan gizi yang cukup agar otak bisa berkembang maksimal," terangnya dalam Workshop Cyber Media Forum yang digelar Danone Indonesia dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Jumat (30/9/2022).

Dalam kesempatan sebelumnya, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr Hasti Wardoyo, SpOG menegaskan stunting pada dasarnya bukan hanya perkara badan pendek karena kurang gizi. Lebih kompleks dari itu, stunting sebenarnya juga berimbas pada keterbatasan intelektual dan kondisi fisik yang buruk semasa dewasa.

ADVERTISEMENT

"Anak yang pendek tapi cerdas, itu jelas tidak stunting. Tiga dampak tidak menguntungkan pada anak stunting, pertama pendek. Kedua, kemampuan intelektualnya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan lebih rendah daripada orang rata-rata," ungkap dr Hasto pada detikcom beberapa waktu lalu.

Di samping itu, orang dengan stunting juga berisiko lebih tinggi mengidap penyakit kardiovaskular saat dewasa seperti jantung koroner dan stroke.

Biang Kerok Stunting: Suami-Istri Jauh dari Kata 'Siap'

dr Hasto lebih lanjut mengungkapkan, ketidaksiapan suami-istri menjadi biang kerok nomor satu kasus stunting. Pada banyak kasus, suami-istri tidak menyadari bahwa sang istri sedang hamil berusia satu hingga dua bulan. Imbasnya, pemenuhan gizi kandungan pada usia dua bulan pertama terganggu.

Menyusul kisruh tersebut, dr Hasto memaparkan, pada banyak kasus bayi stunting lahir dari ibu yang mengidap anemia atau kekurangan sel darah merah. Jika kehamilan terencana, anemia pada ibu bisa diatasi lebih dulu dengan mengonsumsi obat penambah darah minimal sejak tiga bulan sebelum kehamilan.

Sayangnya pada banyak kasus, sang ibu tak sempat mempersiapkan kehamilannya. Walhasil, pemenuhan gizi buah hati menjadi tersendat imbas kondisi kurang darah.

"Janin umur delapan minggu sudah lengkap kepala, pundak, lutut, daun telinga. Misal perempuan telat menstruasi satu bulan, organ sudah terbentuk semua. Celakanya kalau ibu anemia, gangguan terjadi pada bulan pertama dan ibunya tidak tahu bahwa sedang hamil," imbuh dr Hasto.

Lagi-lagi Perkara Kurang Gizi, Kerupuk Bukan Lauk!
Hal senada disampaikan oleh dr Ray. Ia menegaskan, kasus stunting harus mendapatkan penanganan serius lantaran bisa berimbas ke penurunan kecerdasan anak.

"Perlu diperhatikan bahwa kekurangan gizi tidak hanya berdampak pada penurunan berat badan tetapi berkurangnya asupan energi ke otak. Pertumbuhan otak 80 persen terjadi ketika dua tahun pertama pertumbuhan anak, sehingga selama periode ini penting bagi anak mendapatkan asupan gizi yang cukup agar otak bisa berkembang maksimal," jelas dr Ray.

Upaya pemberantasan stunting tak terlepas dari pemenuhan gizi yang memadai. Namun sorotan dr Hasto, gizi seimbang masih seringkali luput dari pengertian warga Indonesia tentang pola makan ideal.

Ia mencontohkan, tak sedikit warga yang beranggapan makan nasi putih dengan 'lauk' kerupuk adalah menu makan ideal. Padahal jelas, kombinasi menu makan ini jauh dari kata 'seimbang'. Jika kebiasaan ini terus mengakar di benak masyarakat, tak heran kelak nanti stunting terus menjadi perkara yang mengakar.

"Banyak orang tidak kekurangan nutrisi, tapi mindset-nya punya. Banyak bisa beli ikan, tapi tidak merasa ikan bermanfaat besar. Ada ibu yang makan nasi lauknya mie dan kerupuk. Aneh karbohidrat semua. Ini mindset," tandas dr Hasto.

Secercah Harap buat Indonesia

Namun begitu, masa depan warga Tanah Air tak sepenuhnya kelabu. Dr Ray menerangkan, masih ada upaya yang bisa dilakukan untuk memberantas kasus stunting di Indonesia. Mulai dari perbaikan status gizi ibu hingga staus kesehatan selama masa kehamilan.

"Terdapat beberapa aspek penting yang harus diperhatikan untuk pencegahan stunting yaitu asupan nutrisi seimbang sejak masa kehamilan, pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI) yang berkualitas pada anak, memperhatikan sumber protein terutama protein hewani yang mengandung asam amino, menjaga kebersihan secara menyeluruh, pemenuhan hidrasi yang cukup serta pemantauan tumbuh kembang anak secara teratur," pungkas dr Ray.

Halaman 3 dari 3
(vyp/kna)

Berita Terkait