Geger Virus Marburg: Asal-usul, Gejala, Hingga Tingkat Kematiannya

Vidya Pinandhita - detikHealth
Kamis, 16 Feb 2023 12:59 WIB
Jakarta -

Guinea Equatorial melaporkan temuan wabah baru virus Marburg, yang diketahui bersifat amat menular dan mematikan layaknya virus Ebola. Demi mencegah penyebaran virus, pemerintah setempat mengkarantina lebih dari 200 orang yang dianggap bergejala.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan sebanyak 9 kasus kematian akibat virus Marburg di wilayah bagian negara Afrika Barat tersebut. Disebutkannya, tingkat kematian akibat virus Marburg mencapai 88 persen.

"Selain 9 kematian, Guinea melaporkan sedikitnya 16 kasus diduga virus Marburg dengan gejala termasuk demam, kelelahan, muntah darah, dan diare," kata WHO, dikutip dari US News, Selasa (14/2/2023).

Asal-usul Virus Marburg

Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, menjelaskan virus Marburg pertama kali ditemukan oleh virologis di Marburg dan di Frankfurt, Jerman pada 1976. Namun saat kasus merebak, belum diketahui bahwa penyakit tersebut disebabkan virus Marburg.

Saat itu, kasus serupa juga ditemukan di kota Belgrade, Serbia. Pasien mengalami demam dibarengi perdarahan, serta tingkat kematian yang tinggi.

"Setelah diperiksa akhirnya ditemukan saat itu bahwa ini ada virus dari keluarga Filoviridae namanya. Ini satu keluarga dengan ebola virus yang juga satu kelompok itu," terang Dicky pada detikcom, Rabu (15/2/2023).

"Itu kematiannya hampir sama dan ini bisa sampai 88 persen, bahkan ada yang sampai 90 persen. Paling buruk. Jadi sangat mematikan. Tapi menular, sangat menular. Terutama dari cairan tubuh dari si pasien," sambungnya.

Lebih lanjut Dicky menjelaskan, virus Marburg pada awalnya menular dari hewan ke manusia (zoonosis). Namun kemudian seiring wabahnya, menular dari pasien ke pasien lain melalui cairan tubuh.

Meski perjalanan penyebaran penyakit ini relatif lambat, kewaspadaan tetap diperlukan mengingat perjalanan antar negara kini semakin tinggi.

"Karena manusia mengkonsumsi atau terkontaminasi dari kotoran dari hewan kelelawar itu yang menempel di buah, atau produk, atau produk lain yang akhirnya dikonsumsi oleh manusia. Khususnya di Afrika sana atau pun bisa saja di daerah tropis lain yang memiliki potensi kelelawar buah yang sama," terangnya.

"Sejauh ini endemiknya memang masih di Afrika, tapi kita harus mewaspadai apalagi dengan pelajaran dari pandemi COVID-19," pungkas Dicky.




(vyp/kna)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork