Jumlah kasus tuberkulosis (TBC atau TB) di Indonesia menjadi salah satu yang terbesar di dunia. Menurut Global TB Report 2022, Indonesia menempati urutan kedua dengan kasus TBC terbanyak di seluruh dunia setelah India.
Ada beragam faktor yang menyebabkan TBC sulit ditangani di Indonesia. Mulai dari proses penyembuhannya yang bisa memakan waktu lama hingga stigma buruk yang masih ada di tengah masyarakat soal TBC.
Permasalahan stigma penyakit TBC yang terjadi di Indonesia memang masih melekat. Bahkan dalam beberapa kasus, diskriminasi pada pasien TBC justru bisa terjadi di dalam keluarga sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Gara-gara diskriminasi ini menyebabkan ada beberapa kasus pasangan yang diceraikan gara-gara sakit TB," ucap dr Imran Pambudi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, Selasa (14/2/2023).
Karena stigma yang beredar di masyarakat, ada beberapa orang tak ingin memiliki anggota keluarga yang mengidap TBC.
"Karena pasangannya atau keluarganya tidak mau punya mantu atau punya pasangan yang sakit TB. Baik karena stigma, maupun karena mereka khawatir TB itu katanya penyakit kutukan dan lain-lain," sambungnya lagi.
Senada dengan keterangan dr Imran, Ketua Perhimpunan Organisasi Pasien (POP) TB Indonesia, Budi Hermawan mengungkapkan kasus serupa baru-baru ini terjadi di daerah Jawa Barat.
"Jadi ada beberapa laporan masuk baru-baru ini terutama di Jawa Barat yang mau ditinggalkan sama istrinya itu mau diceraikan dan juga yang mau diceraikan juga sama suaminya. Jadi ada dua kasus, laki-laki dan perempuan yang sama-sama akan ditinggalkan oleh pasangan," ucap Budi saat ditemui detikcom, Selasa (14/2/2023).
Terkait masalah tersebut, Budi telah mencoba membantu melakukan edukasi pada keluarga tersebut. Namun ia tidak bisa berbuat banyak lantaran masalah pernikahan tidak termasuk ke ranah diskriminasi di lingkungan kerja atau pun ranah hukum.
"Nah, karena terkait dengan hati ini tidak berbicara tentang undang-undang, tidak bicara hukum, ini pendekatannya harus persuasif gitu ya. Harus pendekatan edukasi, jadi nggak ada pasal yang kita bawa di sana karena (masalah) suka tidak suka. Jadi kita butuh pendalaman lebih lanjut pendekatan lebih intensif apa yang terjadi sehingga edukasi yang bisa kita berikan bisa lebih masuk," pungkasnya.
(up/up)











































