Jepang kini sedang dilanda krisis populasi imbas warganya yang enggan memiliki anak. Berkenaan dengan hal tersebut, sejumlah wanita Jepang menyuarakan bahwa mereka tidak seharusnya disalahkan atas masalah tersebut.
Jepang mencatat 799.728 angka kelahiran pada 2022, turun 5,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Angka tersebut merupakan angka terendah sejak pencatatan dimulai pada 1899.
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida sudah memperingatkan penurunan populasi berimbas pada fungsi masyarakatnya. Negara dengan jumlah 125 juta penduduk ini juga memiliki rasio tertinggi terkait wanita berusia 50 tahun yang tidak pernah memiliki anak.
Hal ini memicu perdebatan di Twitter, berkenaan dengan tagar 'tidak pernah memiliki anak seumur hidup'.
Seorang warga Jepang Tomoko Okada sudah lama merasa malu karena tidak memiliki anak. Ia juga sempat merasa ragu untuk mengklik topik yang sedang tren di Twitter, karena takut akan rentetan kritik yang biasa.
Namun sebaliknya, dia menemukan sebagian besar diskusi yang simpatik dengan para wanita yang memutuskan untuk tidak berkeluarga.
"Dulu saya sangat percaya bahwa melahirkan adalah hal yang 'normal' untuk dilakukan," kata Okada dikutip dari Japan Times.
Okada bahkan sempat mencoba aplikasi pencari jodoh untuk mencari pasangan, namun usahanya tidak membuahkan hasil. Ia juga merasa bersalah lantaran tidak bisa memenuhi permintaan sang ayah untuk memberikannya cucu di Hari Ayah.
Sejak dirinya mengunggah dan membaca unggahan orang lain terkait hal tersebut di media sosial, Okada mengaku lega. Ia kini merasa 'cara hidupnya baik-baik saja'.
Di sisi lain, angka kelahiran yang rendah merupakan masalah yang akut di Jepang lantaran menyangkut masalah ekonomi. Sebab, Jepang memiliki populasi tertua kedua di dunia setelah Monako dan aturan imigrasi yang relatif ketat.
Perdana Menteri Fumio Kishida telah menjanjikan kebijakan termasuk bantuan keuangan untuk keluarga, akses pengasuhan anak yang lebih mudah dan lebih banyak cuti orang tua.
Namun jumlah perempuan pada kabinet Kishida, kurang dari 10 persen yakni hanya dua dari 19 orang. Hal ini membuat beberapa wanita merasa dikesampingkan, atau bahkan diserang.
"Jangan salahkan wanita atas rendahnya angka kelahiran," cuit Ayako, seorang warga Tokyo berusia 38 tahun tanpa anak.
Ayako menyebutkan pusat permasalahan Jepang saat ini yaitu peran gender tradisional Jepang menjadi pusat masalah. Terkait hal ini, survei pemerintah pada 2021 menunjukkan bahwa wanita Jepang menghabiskan waktu sekitar empat kali lebih lama untuk pekerjaan rumah dan mengasuh anak daripada pria, bahkan dengan lebih banyak suami yang bekerja dari rumah.
Ayako blak-blakan menyuarakan soal isu-isu gender di dunia maya. Tetapi ketika dia berbicara mengenai hal ini di dunia nyata, ia justru diasingkan oleh orang sekitar.
"Sulit untuk meninggikan suaramu di dunia nyata. Aku merasa wanita menerima begitu banyak kritik hanya karena mengungkapkan pendapat mereka," katanya.
"Namun di media sosial, saya sering terkejut menemukan orang lain dengan pandangan yang sama," lanjut Ayako.
NEXT: Pendapat Pakar
(hnu/suc)