Kemenkes Korsel Wanti-wanti Cabut Izin Praktik Dokter yang Ikut Mogok Massal

Nafilah Sri Sagita K - detikHealth
Selasa, 27 Feb 2024 17:01 WIB
Dokter di Korea Selatan beramai-ramai melakukan aksi mogok kerja. (Foto: REUTERS/Kim Soo-Hyeon)
Jakarta -

Pemerintah Korea Selatan memberikan sisa waktu empat hari untuk para dokter melakukan aksi mogok massal. Jika tidak, pihaknya bakal melakukan tindakan tegas dan menuntut para dokter terkait.

Sekitar 9.000 dokter magang dan residen berhenti bekerja sejak awal pekan lalu untuk memprotes rencana pemerintah meningkatkan penerimaan sekolah kedokteran sekitar 65 persen. Aksi mogok massal ini dinilai merugikan operasional sejumlah rumah sakit, dengan banyaknya pembatalan operasi dan perawatan pasien lain.

Pejabat pemerintah mengatakan penambahan lebih banyak dokter diperlukan untuk mengatasi populasi penuaan yang cepat di Korea Selatan. Rasio dokter-pasien di negara ini termasuk yang terendah di antara negara-negara maju.

Para pengunjuk rasa mengatakan universitas-universitas tidak mampu menampung begitu banyak mahasiswa baru. Mereka berpendapat bahwa rencana tersebut juga tidak akan mengatasi kekurangan dokter yang kronis di beberapa bidang penting, terlebih bergaji rendah, seperti kedokteran anak dan unit gawat darurat.

Wakil Menteri Kesehatan Park Min-soo mengatakan dalam jumpa pers yang disiarkan televisi pada Senin, pemerintah tidak akan mengambil tindakan disipliner terhadap dokter yang mogok seandainya mereka kembali bekerja pada hari Kamis.

"Kami ingin mereka kembali bekerja pada akhir bulan ini, 29 Februari. Jika mereka kembali ke rumah sakit yang mereka tinggalkan saat itu, kami tidak akan meminta pertanggungjawaban mereka atas segala kerusakan yang disebabkan oleh pemogokan mereka," kata Park.

"Tidak terlalu terlambat. Tolong, segera kembali ke pasien."

Namun dia mengatakan mereka yang tidak memenuhi tenggat waktu akan dihukum dengan penangguhan izin medis minimal tiga bulan dan menghadapi langkah hukum lebih lanjut seperti penyelidikan dan kemungkinan dakwaan.

Berdasarkan undang-undang kedokteran Korea Selatan, pemerintah dapat mengeluarkan perintah kembali bekerja kepada dokter dan tenaga medis lainnya jika melihat adanya risiko besar terhadap kesehatan masyarakat. Menolak untuk mematuhi perintah tersebut dapat mengakibatkan penangguhan izin mereka dan hukuman hingga tiga tahun penjara atau denda 30 juta won atau setara dengan 352 juta rupiah. Mereka yang menerima hukuman penjara akan dicabut izin medisnya.

Hyeondeok Choi, mitra di firma hukum Daeryun yang berspesialisasi dalam hukum medis, mengatakan sangat kecil kemungkinannya pemerintah akan menangguhkan izin semua dokter yang mogok, karena hal itu akan menyebabkan kekosongan medis yang sangat besar. Pengamat lain mengatakan pihak berwenang kemungkinan akan menghukum para pemimpin pemogokan.

Terdapat sekitar 13.000 dokter magang dan penduduk di Korea Selatan, sebagian besar dari mereka bekerja dan mengikuti pelatihan di 100 rumah sakit. Mereka biasanya membantu dokter senior selama operasi dan menangani pasien rawat inap. Mereka mewakili sekitar 30 persen hingga 40 persen dari total dokter di beberapa rumah sakit besar.

Asosiasi Medis Korea, yang mewakili sekitar 140.000 dokter, mengatakan pihaknya mendukung para dokter yang mogok, tetapi belum memutuskan apakah akan ikut serta dalam aksi pemogokan dokter yang masih dalam masa pelatihan. Para dokter senior telah mengadakan serangkaian aksi unjuk rasa yang menyuarakan penolakan terhadap rencana pemerintah dalam beberapa hari terakhir.

Park mengatakan layanan medis di negara tersebut untuk pasien darurat dan kritis tetap stabil, dengan fasilitas medis publik memperpanjang jam kerja mereka dan rumah sakit militer membuka ruang gawat darurat untuk pasien biasa.

Namun, media lokal melaporkan bahwa seorang pria berusia delapan tahun yang mengalami serangan jantung dinyatakan meninggal pada Jumat lalu setelah tujuh rumah sakit menolaknya dengan alasan kurangnya staf medis atau alasan lain yang mungkin terkait dengan pemogokan tersebut.

Hwang Byung-tae, seorang pasien kanker laring berusia 55 tahun, mengatakan dia rutin mengunjungi rumah sakit Seoul untuk perawatan selama empat tahun. Pekan lalu, dia mengatakan harus meninggalkan rumah sakit tanpa menerima suntikan antikanker karena aksi mogok kerja tersebut.

Hwang menuduh pemerintah dan dokter menyandera nyawa pasien.

"Pasien seperti sayalah yang akhirnya menderita dan meninggal, bukan mereka," kata Hwang.



Simak Video "Video Prabowo: Indonesia Butuh Dokter-Ilmuwan yang Banyak"

(naf/kna)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork