Foto: Rani Penyintas-Pejuang HIV yang Melawan Stigma & Diskriminasi ODHA

Rani juga merupakan seorang penyintas HIV yang sudah berjuang dan bertahan hidup dengan virus HIV di tubuhnya selama kurang lebih 20 tahun.

Ia tertular HIV lewat jarum suntik yang ia gunakan secara bersamaan dengan kawan-kawannya saat menggunakan putau.

Sekitar tahun 2002, Rani bilang ke ortunya ingin menjalani tes, karena sudah banyak teman-temannya sesama pemakai putau meninggal dunia. Gosipnya karena HIV yang ditularkan melalui jarum suntik itu.

Ia juga menjalani tes di laboratorium yang skala kecil atau di perumahan. Kebetulan juga itu adalah punya teman ortunya. Tes-nya pun dilakukan di rumahnya pada akhir pekan minggu. Hasilnya pun langsung diantar ke rumah.

Setahunya positif HIV, ia langsung menangis bersama maminya, sejadi-jadinya. Lagi-lagi Rani sudah menyiapkan putau untuk lari dan menenangkan diri dengan cara yang salah. 

Sejak saat itulah ia selalu dihantui mimpi buruk dengan hadirnya sosok pocong di dalam mimpinya. Mungkin karena dulu iklan layanan masyarakat soal bahaya HIV-AIDS selalu identik dengan kematian.

Sejak divonis status positif HIV, Rani sempat bertahan tanpa obat karena kondisi imun tubuhnya yang cukup bagus. Selama kurang lebih 9 tahun ia cukup minum vitamin saja untuk menjaga imunitas tubuhnya.

Ia pun minum obat saat dirinya hamil anak pertama karena khawatir sang bayi tertular HIV. Selanjutnya ia terus mengkonsumsi obat ARV itu setiap hari dengan rutin.

Ia pun sempat bergabung dengan komunitas Rumah Cemara di Bandung, sebelum mendirikan komunitas yang sama-sama peduli penyintas HIV, Female Plus yang berada di Bandung.

Rani bersama dengan penyintas HIV yang ada di bawah naungan Female Plus selalu rutin mengkonsumsi obat ARV untuk menekan virus HIV yang ada di dalam tubuhnya.

Female Plus yang telah resmi menjadi LSM atau NGO penyintas HIV-AIDS dari akarnya memang untuk perempuan, kini telah berubah menaungi semua yang lebih luas lagi untuk semua populasi kunci yang ada di sini. 

Ini adalah salah satu jenis obat penghambat virus HIV yang harus rutin diminum setiap hari oleh penyintas untuk menekan virus yang bersarang di dalam tubuhnya.

Teh Rani, terpapar HIV sejak tahun 2002, ia pun mulai melakukan rehab putau di tahun 2003 atau setahun setelahnya. Meskipun demikian, wanita kelahiran 1978 ini tetap menjalani hidup yang sehat agar bisa tetap melanjutkan hidup dengan baik, meskipun terpapar HIV. Di tahun 2005 itu pula ia mendirikan Female Plus.

Ibu dua anak yang berstatus negatif itu pun terus menjalani hidupnya dengan sehat dan baik. Sang suami yang juga sama-sama berstatus positif HIV, menjadi orang yang cukup berpengaruh dalam kehidupan pribadi ataupun psiko sosialnya hingga kini. Keduanya pun masih aktif menjadi orang yang bergerak dalam lembaga pendampingan HIV-AIDS. Maka tak heran bila ia disebut pejuang HIV yang berani melawan Stigma dan Diskriminasi terhadap ODHA. 

Rani juga merupakan seorang penyintas HIV yang sudah berjuang dan bertahan hidup dengan virus HIV di tubuhnya selama kurang lebih 20 tahun.
Ia tertular HIV lewat jarum suntik yang ia gunakan secara bersamaan dengan kawan-kawannya saat menggunakan putau.
Sekitar tahun 2002, Rani bilang ke ortunya ingin menjalani tes, karena sudah banyak teman-temannya sesama pemakai putau meninggal dunia. Gosipnya karena HIV yang ditularkan melalui jarum suntik itu.
Ia juga menjalani tes di laboratorium yang skala kecil atau di perumahan. Kebetulan juga itu adalah punya teman ortunya. Tes-nya pun dilakukan di rumahnya pada akhir pekan minggu. Hasilnya pun langsung diantar ke rumah.
Setahunya positif HIV, ia langsung menangis bersama maminya, sejadi-jadinya. Lagi-lagi Rani sudah menyiapkan putau untuk lari dan menenangkan diri dengan cara yang salah. 
Sejak saat itulah ia selalu dihantui mimpi buruk dengan hadirnya sosok pocong di dalam mimpinya. Mungkin karena dulu iklan layanan masyarakat soal bahaya HIV-AIDS selalu identik dengan kematian.
Sejak divonis status positif HIV, Rani sempat bertahan tanpa obat karena kondisi imun tubuhnya yang cukup bagus. Selama kurang lebih 9 tahun ia cukup minum vitamin saja untuk menjaga imunitas tubuhnya.
Ia pun minum obat saat dirinya hamil anak pertama karena khawatir sang bayi tertular HIV. Selanjutnya ia terus mengkonsumsi obat ARV itu setiap hari dengan rutin.
Ia pun sempat bergabung dengan komunitas Rumah Cemara di Bandung, sebelum mendirikan komunitas yang sama-sama peduli penyintas HIV, Female Plus yang berada di Bandung.
Rani bersama dengan penyintas HIV yang ada di bawah naungan Female Plus selalu rutin mengkonsumsi obat ARV untuk menekan virus HIV yang ada di dalam tubuhnya.
Female Plus yang telah resmi menjadi LSM atau NGO penyintas HIV-AIDS dari akarnya memang untuk perempuan, kini telah berubah menaungi semua yang lebih luas lagi untuk semua populasi kunci yang ada di sini. 
Ini adalah salah satu jenis obat penghambat virus HIV yang harus rutin diminum setiap hari oleh penyintas untuk menekan virus yang bersarang di dalam tubuhnya.
Teh Rani, terpapar HIV sejak tahun 2002, ia pun mulai melakukan rehab putau di tahun 2003 atau setahun setelahnya. Meskipun demikian, wanita kelahiran 1978 ini tetap menjalani hidup yang sehat agar bisa tetap melanjutkan hidup dengan baik, meskipun terpapar HIV. Di tahun 2005 itu pula ia mendirikan Female Plus.
Ibu dua anak yang berstatus negatif itu pun terus menjalani hidupnya dengan sehat dan baik. Sang suami yang juga sama-sama berstatus positif HIV, menjadi orang yang cukup berpengaruh dalam kehidupan pribadi ataupun psiko sosialnya hingga kini. Keduanya pun masih aktif menjadi orang yang bergerak dalam lembaga pendampingan HIV-AIDS. Maka tak heran bila ia disebut pejuang HIV yang berani melawan Stigma dan Diskriminasi terhadap ODHA.