Potret Pabrik Nyamuk Super untuk Lawan Demam Berdarah di Brasil

Seorang pekerja berdiri di dekat larva Aedes aegypti dengan bakteri Wolbachia penghambat demam berdarah di sebuah laboratorium di pabrik Wolbito do Brasil di Curitiba, negara bagian Parana, Brasil. Foto: REUTERS/Rodolfo Buhrer
Pabrik Wolbito do Brasil, yang didukung dan digunakan secara eksklusif oleh Kementerian Kesehatan Brasil, dibuka di kota Curitiba pada 19 Juli. Sebagai usaha patungan antara Program Nyamuk Dunia, Yayasan Oswaldo Cruz, dan Institut Biologi Molekuler Paraná, pabrik ini dapat menghasilkan 100 juta telur nyamuk per minggu. Foto: REUTERS/Rodolfo Buhrer
Pabrik bio terbesar di dunia untuk pengembangbiakan nyamuk yang terinfeksi bakteri Wolbachia, sebuah metode yang digunakan para peneliti untuk memerangi demam berdarah, diharapkan dapat melindungi sekitar 140 juta orang dari penyakit tersebut di Brasil dalam beberapa tahun mendatang. Luciano Moreira, CEO perusahaan tersebut mengatakan, Wolbito do Brasil akan mampu melindungi sekitar 7 juta orang di Brasil setiap enam bulan. Foto: REUTERS/Rodolfo Buhrer
Bakteri Wolbachia mencegah nyamuk menularkan demam berdarah dan penyakit lain seperti Zika atau Chikungunya. Oleh karena itu, petugas kesehatan masyarakat melepaskan nyamuk hasil biakan laboratorium yang terinfeksi Wolbachia untuk berkembang biak dengan populasi nyamuk lokal dan menularkan bakteri yang menghambat penularan virus. Metode ini telah melindungi lebih dari 5 juta orang di delapan kota di Brasil sejak 2014, menurut Kementerian Kesehatan Brasil. Foto: REUTERS/Rodolfo Buhrer
Pemandangan pabrik Wolbito do Brasil di Curitiba, negara bagian Parana. Demam berdarah, yang secara umum dikenal sebagai demam patah tulang karena rasa sakit yang luar biasa yang ditimbulkannya, disebarkan oleh nyamuk Aedes aegypti yang menginfeksi ratusan juta orang setiap tahun, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Kasus demam berdarah yang parah dapat berakibat fatal dan 6.297 orang meninggal karena penyakit ini di Brasil tahun lalu, tahun terburuk yang pernah tercatat, menurut data WHO. Foto: REUTERS/Rodolfo Buhrer
Seorang pekerja berdiri di dekat larva Aedes aegypti dengan bakteri Wolbachia penghambat demam berdarah di sebuah laboratorium di pabrik Wolbito do Brasil di Curitiba, negara bagian Parana, Brasil. Foto: REUTERS/Rodolfo Buhrer
Pabrik Wolbito do Brasil, yang didukung dan digunakan secara eksklusif oleh Kementerian Kesehatan Brasil, dibuka di kota Curitiba pada 19 Juli. Sebagai usaha patungan antara Program Nyamuk Dunia, Yayasan Oswaldo Cruz, dan Institut Biologi Molekuler Paraná, pabrik ini dapat menghasilkan 100 juta telur nyamuk per minggu. Foto: REUTERS/Rodolfo Buhrer
Pabrik bio terbesar di dunia untuk pengembangbiakan nyamuk yang terinfeksi bakteri Wolbachia, sebuah metode yang digunakan para peneliti untuk memerangi demam berdarah, diharapkan dapat melindungi sekitar 140 juta orang dari penyakit tersebut di Brasil dalam beberapa tahun mendatang. Luciano Moreira, CEO perusahaan tersebut mengatakan, Wolbito do Brasil akan mampu melindungi sekitar 7 juta orang di Brasil setiap enam bulan. Foto: REUTERS/Rodolfo Buhrer
Bakteri Wolbachia mencegah nyamuk menularkan demam berdarah dan penyakit lain seperti Zika atau Chikungunya. Oleh karena itu, petugas kesehatan masyarakat melepaskan nyamuk hasil biakan laboratorium yang terinfeksi Wolbachia untuk berkembang biak dengan populasi nyamuk lokal dan menularkan bakteri yang menghambat penularan virus. Metode ini telah melindungi lebih dari 5 juta orang di delapan kota di Brasil sejak 2014, menurut Kementerian Kesehatan Brasil. Foto: REUTERS/Rodolfo Buhrer
Pemandangan pabrik Wolbito do Brasil di Curitiba, negara bagian Parana. Demam berdarah, yang secara umum dikenal sebagai demam patah tulang karena rasa sakit yang luar biasa yang ditimbulkannya, disebarkan oleh nyamuk Aedes aegypti yang menginfeksi ratusan juta orang setiap tahun, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Kasus demam berdarah yang parah dapat berakibat fatal dan 6.297 orang meninggal karena penyakit ini di Brasil tahun lalu, tahun terburuk yang pernah tercatat, menurut data WHO. Foto: REUTERS/Rodolfo Buhrer