"Ada pantangan tertentu terkait adat yang dianut, sehingga mereka melahirkan sendiri di semak-semak. Setelah lahir, baru dibawa ke puskesmas," kata Petrus, seorang mantri kesehatan saat ditemui di Puskesmas Pembantu Kampung Merabu, Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, seperti ditulis Senin (17/3/2014).
Petrus mengatakan tradisi seperti itu masih dijalankan oleh suku tertentu di pedalaman. Menurut Petrus yang sudah 2 tahun bertugas di pedalaman Kampung Merabu, tradisi semacam ini menjadi tantangan tersendiri bagi para bidan dan petugas kesehatan lainnya.
Tantangan lain yang dihadapi tentunya medan yang sulit dijangkau. Kampung Merabu tempatnya berdinas, harus ditempuh dalam waktu 4 jam dengan mobil double gardan dari ibukota Kabupaten Berau, Tanjung Redeb.
Itu pun butuh perjuangan berat, karena harus melintasi beberapa bagian Sungai Lesan. Sebagian bisa dilintasi melalui jembatan, sebagian butuh jasa kapal ferry kecil dengan ongkos Rp 100 ribu/mobil, dan di bagian hulu bahkan mobil harus 'nyebur' ke air.
Jarak tempuh yang lama dan medan ekstrem sangat menyulitkan Petrus saat harus merujuk pasien ke Puskesmas Induk di kota kecamatan, atau bahkan ke rumah sakit di Tanjung Redeb. Tanpa ada mobil ambulans, Petrus hanya bisa mengandalkan pinjaman mobil dari warga lainnya.
Tenaga kesehatan yang bertugas pun tidak semuanya berasal dari Kampung Merabu. Asri misalnya, seorang bidan asal Sulawesi yang baru berdinas sejak Oktober 2013. Sebulan sekali, ia harus menempuh perjalanan selama 4 jam untuk pulang ke rumahnya di Berau.
"Yah, anggap saja lagi refreshing di sini," kata Asri, lajang yang baru lulus sekolah bidan pada 2011 dan langsung ditugaskan di pedalaman.
Di Puskesmas Pembantu Kampung Merabu, Petrus dibantu oleh 2 bidan dan 2 perawat. Tidak ada dokter di Puskesmas ini, hanya sebulan sekali saja dokter dari kabupaten datang berkunjung. Begitu pun suplai obat, hanya datang sebulan sekali. Kadang stok obat berlebih, namun tak jarang pula kehabisan.
Soal tradisi melahirkan di semak-semak juga dikisahkan oleh Simon Padan, Kepala Kampung Long Pai yang tinggal di sisi lain Kabupaten Berau. Menurutnya, tradisi tersebut ada karena Suku Dayak Punan yang menjalankannya, meyakini bahwa hutan telah menyediakan semua kebutuhan pengobatan.
"Setahu saya dulu memang begitu, mereka melahirkan di hutan. Obatnya dari getah rotan jenis tertentu. Tapi kalau sekarang saya belum pernah menemukan lagi, kebanyakan datang ke puskesmas," kata Simon.
(up/vit)











































