"Ada tapi diam-diam," kata aktivis perempuan Agnes Widanti dalam seminar 'Surrogate Mother (Ibu Pengganti) Dipandang dari Sudut Nalar, Moral, dan Legal' di Ruang Teater Thomas Aquinas, Universitas Katolik (Unika) Soegiyapranata Semarang, Jl Pawiyatan Luhur, Sabtu (5/6/2010).
Agnes yang juga pengajar Unika dan koordinator Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) Jateng itu mengacu pada thesis mahasiswinya yang berjudul 'Penerapan Hak Reproduksi Perempuan dalam Sewa-menyewa Rahim'. Thesis itu mengambil lokasi di Papua dan menjelaskan adanya sewa-menyewa rahim.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kasus sewa rahim yang sempat mencuat adalah pada Januari 2009 ketika artis Zarima Mirafsur diberitakan melakukan penyewaan rahim untuk bayi tabung dari pasangan suami istri pengusaha. Zarima, menurut mantan pengacaranya, Ferry Juan mendapat imbalan mobil dan Rp 50 juta dari penyewaan rahim tersebut. Tapi kabar ini telah dibantah Zarima.
Menurut Agnes, jika kasus sewa rahim Zarima tidak dapat diverifikasi, thesis yang dilakukan mahasiswanya benar-benar terjadi yang praktiknya dilakukan diam-diam.
Sebab itu, Agnes bersama dua pembicara lainnya dalam acara itu, Liek Wilardjo (Dosen UKSW Salatiga) dan Sofwan Dahlan (Pakar Hukum Kesehatan Undip), berharap pemerintah memperhatikan masalah tersebut. Sewa-menyewa rahim bukan persoalan biologis semata, tapi juga kehidupan dan kemanusiaan.
"Selama ini, hukum terlambat merespon kebutuhan," kata Sofwan Dahlan.
Baik Agnes maupun Dahlan menyebut wacana sewa rahim bukan bermaksud latah, melainkan antisipasi terhadap problem kehidupan. Tidak menutup kemungkinan, banyak pasutri yang ingin melakukan sewa rahim, sehingga memilih ke luar negeri karena di dalam negeri belum diizinkan.
Seorang peserta seminar, dr Iskandar mengaku menerima keluhan pasutri yang kesulitan mempunyai keturunan karena faktor biologis si perempuan. "Saya tak bisa menyarankan mereka agar sewa rahim karena memang di negara kita tak ada payung hukumnya," katanya.
Seminar yang digelar Magister Hukum Kesehatan itu diikuti sekitar 100 orang. Mereka terdiri dari mahasiswa, kalangan medis, dan aktivis sosial.
Larangan sewa rahim di Indonesia termuat dalam UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga hanya mengeluarkan fatwa tentang bayi tabung yang boleh dilakukan tapi tidak dengan penyewaan rahim.
(try/ir)











































