Otak bayi sebenarnya bersifat plastik, artinya ia dapat berkembang sesuai lingkungan dan pengalaman yang dihadapinya atau beradaptasi sesuai dengan kebutuhan fungsionalnya. Tapi plastisitas ini juga dibarengi dengan sejumlah kerentanan.
Sejumlah riset telah menunjukkan bahwa stres parah seperti penganiayaan atau institusionalisasi dapat memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap tumbuh-kembang anak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk menemukan jawabannya, Graham dan rekan-rekannya pun memutuskan melakukan scanning fMRI terhadap 20 bayi. Ke-20 bayi yang berusia antara enam sampai 12 bulan diletakkan di dalam lab pada jam-jam tidur rutin mereka. Ketika bayi-bayi ini terlelap, peneliti memapari mereka dengan suara seorang pria dewasa yang berbicara dengan nada sangat marah, tidak begitu marah, bahagia dan netral.
"Ternyata meski tertidur, bayi-bayi ini memperlihatkan pola aktivitas otak yang berbeda-beda, tergantung pada nada suara emosional yang kami berikan," ungkap Graham.
Dari situ peneliti menemukan bahwa bayi-bayi yang berasal dari keluarga yang tingkat konfliknya tinggi atau orang tuanya sering bertengkar memperlihatkan reaksi yang lebih besar pada nada suara yang sangat marah di dalam otaknya, terutama di bagian otak yang berkaitan stres dan pengaturan emosi seperti anterior cingulate cortex, caudate, thalamus dan hypothalamus.
Kesimpulannya, studi ini menunjukkan bahwa bayi pun tahu jika orang tuanya tengah berkonflik, bahkan paparan konflik ini dapat mempengaruhi cara otak si bayi untuk memproses emosi dan stresnya sendiri. Dikhawatirkan kondisi ini akan mempengaruhi kondisi psikologis anak hingga menjelang dewasa.
Studi ini akan dipublikasikan dalam jurnal Psychological Science.











































