Banyak penderita GB yang ternyata mulai mengidapnya sejak remaja, yaitu usia 15-24 tahun. Akan tetapi karena si penderita dan keluarganya tidak tanggap dan tidak mengenal gejala-gejala GB, diagnosis baru dilakukan 5-10 tahun kemudian. Bahkan lebih parah lagi, si penderita diketahui mengidap GB saat sudah berusia lanjut, atau di atas 65 tahun. Saat sudah tua pun, diagnosis GB akan terhambat dengan anggapan atau permakluman bahwa orang tua memang mudah tersinggung ataupun mudah merasa senang. Padahal itu adalah beberapa gejala GB.
"Ganggauan bipolar adalah gangguan jiwa yang kambuhan dan menahun, bahkan bisa seumur hidup. Kambuhan berarti perubahan manik (mood senang) dan depresi (mood sedih) itu mudah berubah," ujar Prof. dr. Sasanto Wibisono, SpKJ saat seminar 'Mental Health in Older Adults' dalam memperingati hari Kesehatan Jiwa Dunia 2013, di Ruang Legian Hotel Gran Melia Jakarta, Jl H.R. Rasuna Said Kav X-0, Jakarta Selatan, Rabu (2/10/2013). Seminar ini diselenggarakan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) bekerja sama dengan PT Abbot Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Profesor Sasanto menambahkan yang membuat GB sulit dideteksi terutama pada kalangan lansia, adalah gejalanya yang serupa dengan gejala skizofrenia, depresi akut biasa, dan gangguan kejiwaan lainnya. Selain itu, pengobatannya pun lebih rumit karena kebanyakan orang tua juga mengidap penyakit lain, seperti stroke, diabetes, dan hipertensi.
"Sehingga kerja obat dalam tubuh menjadi kurang optimal, sebab obat bereaksi juga dengan obat untuk penyakit lainnya," lanjut Prof Sasanto.
Hal inilah yang menyebabkan di Amerika hanya 20 persen pasien gangguan jiwa yang didiagnosis dan diberikan penanganan secara tepat. Sementara itu 31 persen mengalami misdiagnosis atau salah diagnosis, dan 49 persen lainnya tidak terdiagnosis atau dianggap tidak mengalami gangguan kejiwaan.
(vit/vit)











































