Ancaman Wabah Malaria Saat Perantau Merindukan Kampung Halaman

Eliminasi Malaria

Ancaman Wabah Malaria Saat Perantau Merindukan Kampung Halaman

- detikHealth
Sabtu, 30 Agu 2014 09:17 WIB
Ancaman Wabah Malaria Saat Perantau Merindukan Kampung Halaman
Grafis: Andhika / detikHealth
Yogyakarta -

Kulonprogo merupakan satu-satunya kabupaten di Yogyakarta yang belum bebas dari malaria. Sebagian kasus yang ditemukan di daerah ini merupakan kasus-kasus 'impor' yang dibawa oleh para perantau saat mudik ke kampung halaman.

Salah satunya dituturkan oleh Subardi, seorang warga Desa Hargowilis Kecamatan Kokap, Kulonprogo. Tetangganya, seorang pria usia 30-an tahun mengalami demam, 2 hari setelah pulang dari perantauan. Pria tersebut bekerja di sebuah pengeboran di Kalimantan Timur.

"Saya datangi sudah ngelu-ngelu (tidak enak badan). Dicicik (diambil) darahnya, lalu dites dan ternyata positif malaria," kata Subari yang juga menjadi relawan Juru Malaria Desa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bukan kali itu saja Subari menemukan kasus malaria yang berhubungan dengan kaum perantau. Dalam kesempatan lain, ia menemukan warga lokal dengan gejala klinis malaria saat salah seorang kerabatnya datang dari perantauan. Kerabatnya tidak sakit, namun ketika dites hasilnya sama-sama positif terinfeksi plasmodium penyebab malaria.

Peneliti malaria dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Elsa Herdiana, mengatakan bahwa kondisi wilayah Kulonprogo yang kurang subur menjadi alasan warga untuk merantau. Daerah tujuan para perantau utamanya berada di Pulau Kalimantan, Sumatera, dan Papua yang memang merupakan daerah endemis malaria.

"Banyak yang kerja di tambang atau pengeboran. Mereka bekerja di daerah-daerah dekat hutan yang merupakan habitat nyamuk malaria," kata Elsa yang meneliti kebangkitan kembali malaria di Kecamatan Kokap, Kulonprogo dan mempublikasikannya secara internasional di Malaria Journal baru-baru ini.

Para perantau yang terinfeksi malaria di tempat kerja berisiko menularkan penyakitnya saat pulang ke Kulonprogo. Terlebih, kabupaten yang sebagian wilayahnya berada di Perbukitan Menoreh ini memiliki kondisi alam yang mendukung perkembangbiakan vektor malaria yakni nyamuk Anopheles.

Kecamatan Kokap misalnya, berada di ketinggian 150-700 mdpl dengan vegetasi yang lebat sehingga suhu dan kelembabannya relatif stabil. Sungai-sungainya terbentuk dari bebatuan andesit dan banyak memiliki cekungan sehingga air mudah menggenang. Kondisi tersebut sangat ideal sebagai tempat breeding atau bertelur bagi vektor malaria.

Staf pemberantasan penyakit menular di Puskesmas Kokap II, Sri Harjanto membenarkan bahwa jumlah kasus malaria cenderung meningkat ketika banyak perantau pulang kampung alias mudik. Di antaranya pada hari raya Lebaran, serta pada upacara tradisional Nyadran.

"Istilahnya mereka pulang tidak cuma bawa duit, tetapi juga penyakit," kata Harjanto, ditemui di kantornya baru-baru ini.

Penularan bisa terjadi bahkan ketika para perantau yang terinfeksi itu tidak mengalami demam sebagai gejala klinis malaria. Elsa mengatakan, pada kondisi tanpa gejala atau asimtomatis seperti itulah ancaman malaria impor sering terabaikan.

Wajib lapor untuk pendatang

Melalui Peraturan Bupati (Perbup) No 67/2013 tentang Eliminasi Malaria, pemerintah Kulonprogo telah menetapkan kebijakan terkait malaria yang ditularkan para pendatang. Ketika memasuki wilayah Kulonprogo, pendatang diwajibkan melaporkan diri ke Puskesmas atau Juru Malaria Desa untuk diambil sampel darahnya.

Begitu pun, setiap keluarga yang mengetahui adanya pendatang dari luar daerah juga diimbau sesegera mungkin melapor pada Ketua RT/RW atau Kepala Desa. Laporan tersebut akan diteruskan ke Puskesmas, lalu petugas akan datang dalam waktu kurang dari 24 jam untuk mengambil sampel darah.

Di beberapa desa di Kecamatan Kokap, warga cukup mematuhi imbauan ini. Begitu mendapat informasi tentang pendatang baik di keluarga sendiri maupun di lingkungan sekitarnya, warga langsung menghubungi petugas yang disebut Juru Malaria Desa (JMD) melalui pesan singkat (SMS).

"Karena memang sudah sering terjadi wabah, warga di sini umumnya kapok. Bukan cuma kalau ada pendatang, ada yang demam sedikit saja mereka lapor minta dicicik (diambil sampel darah)," kata Subari, petugas JMD di Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap.

Namun di tempat lain, pendatang hanya melapor jika mengalami gejala klinis malaria seperti demam dan muntah-muntah. Petugas yang mendapat laporan pun tidak selalu bisa bertemu dengan para pendatang. Karena merasa dirinya sehat-sehat saja, para pendatang menjadi kurang kooperatif. Mereka tidak merasa perlu untuk bertemu dengan petugas dan memilih berkeliling mengunjungi kerabatnya untuk bersilaturahmi, memanfaatkan masa-masa liburannya.

Dinas Kesehatan Kabupaten Kulonprogo mengakui, kurangnya sosialisasi Perbup membuat penemuan kasus pada para pendatang masih belum optimal. Di tempat lain di wilayah Perbukitan Menoreh, JMD harus bekerja keras. Mereka harus aktif berburu informasi tentang adanya pendatang maupun warga dengan gejala klinis malaria.

"Tidak seperti Perda (Peraturan Daerah), Perbup tidak mengatur sanksi. Saya kira memang di situ kelemahannya," kata Slamet Riyanto, SKM, Kepala Seksi Pemberantasan Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kulonprogo.

 

Kebangkitan kembali malaria

Wabah malaria di Kokap Kulonprogo yang terjadi pada tahun 2012 cukup mengejutkan, karena ketika itu wilayah tersebut hampir mencapai status eliminasi. Sejak dicanangkan Gebrak Malaria tahun 2001, Annual Parasite Incidence (API) atau jumlah kasus infeksi pada tiap 1.000 penduduk sudah mengalami penuruhan. Namun pada 2011, angkanya mendadak naik hingga akhirnya terjadi wabah di tahun 2012.

Penelitian Elsa menunjukkan adanya keterkaitan dengan berkurangnya tingkat kewaspadaan, yang terwakili oleh penurunan jumlah personel Juru Malaria Desa (JMD). Contohnya di Desa Kalirejo yang memiliki 9 dusun, dari 3 JMD pada 2007 menjadi 1 JMD pada 2010. Kondisi yang sama juga terjadi di Desa Hargotirto yang memiliki 14 dusun, dari 7 JMD menjadi hanya 3 JMD.

Sri Harjanto dari Puskesmas Kokap II sependapat dengan hasil penelitian Elsa. Menurutnya, jumlah JMD sebanyak 9 orang yang ada saat ini masih kurang mencukupi untuk menjangkau wilayah kerjanya yang mencakup 14 dusun, tersebar di Desa Hargotirto dan Desa Hargowilis. Mengingat medan yang ekstrem dan berbukit-bukit, tiap-tiap dusun idealnya memiliki 1 petugas.

Salah satu fungsi JMD adalah melakukan surveillance, pengamatan terus-menerus agar bisa segera mengetahui saat ada kasus malaria, baik pada penduduk lokal maupun pada penduduk yang bermigrasi dari dan ke daerah endemis di luar Pulau Jawa. Beban kerja yang meningkat 2-3 kali lipat akibat pengurangan jumlah JMD dinilai membuat fungsi tersebut tidak optimal.

"Bisa dibilang terlena. Ketika jumlah kasus berkurang, kewaspadaan cenderung menurun," kata Elsa Herdiana, peneliti malaria dari Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

 

Migrasi di perbatasan

Selain medan yang luas dan berbukit-bukit, posisi geografis Kecamatan Kokap yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Purworejo Jawa Tengah juga menjadi tantangan tersendiri bagi petugas di lapangan. Di lapangan, kerja sama antardaerah tidak berjalan.

Misalnya saat dilakukan penyemprotan di satu desa, seharusnya desa yang berbatasan langsung juga melakukan langkah sama agar nyamuk benar-benar mati dan tidak hanya berpindah tempat. Kenyataannya, dua desa yang berbeda wilayah administratif tersebut tidak selalu kompak dalam menerapkan strategi pemberantasan malaria.

Begitu pula dengan migrasi penduduk. Dibandingkan saat para perantau pulang mudik, migrasi di wilayah yang berbatasan langsung relatif lebih sulit dipantau. Waktu kunjungan cenderung singkat menyulitkan petugas JMD untuk mengambil sampel darah.

Hubungan kekerabatan yang cukup dekat antara kedua wilayah juga membuat penduduk yang bermigrasi tidak merasa perlu untuk melapor ataupun melakukan tes darah di tempat tujuan. Padahal dengan posisi yang sama-sama berada di Perbukitan Menoreh kedua wilayah rentan saling menularkan malaria.

Harjanto mencatat, peningkatan jumlah kasus pada 2011 yang akhirnya menjadi wabah pada 2012 terjadi saat Kabupten Purworejo sama-sama mengalami peningkatan jumlah kasus. Angka untuk seluruh kabupaten Purworejo saat itu bahkan lebih tinggi dibandingkan jumlah kasus di Kabupaten Kulonprogo.

"Ada sekitar 1.000 kasus di Purworejo, sebagian besar terfokus di perbatasan. Saat itu, di wilayah Kulonprogo belum sebanyak itu," kata Harjanto.

 

Target eliminasi meleset

Sebagai satu-satunya kabupaten di Dearah Istimewa Yogyakarta yang belum bebas dari malaria, Kulonprogo punya tugas berat untuk menyusul Kotamadya Yogyakarta dan 3 kabupaten lainnya yang sudah mendapatkan sertifikat eliminasi malaria dari Kementerian Kesehatan. Salah satunya dengan mengintensifkan peran Juru Malaria Desa (JMD).

"Tahun 2013 kita sebar JMD merata ke seluruh Kulonprogo, tahun ini kita konsentrasikan ke Menoreh saja. Mencakup Kecamatan Kokap, Girimulyo, dan Samigaluh," kata Slamet Riyanto dari Dinas Kesehatan Kulonprogo.

Soal target eliminasi, Slamet memilih bersikap realistis. Target eliminasi tahun 2015 untuk wilayah Jawa dan Bali seperti yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No 293/2009 diakuinya tidak mungkin terwujud di Kulonprogo.

Eliminasi tercapai jika dalam 3 tahun berturut-turut jumlah kasus kurang dari 1 kasus/1.000 penduduk dan tidak ditemukan kasus indigenous (penularan setempat). "Kalau tahun ini saja masih ditemukan, berarti 2015 memang tidak mungkin. Target kita sekarang tahun 2018," lanjut Slamet.

Dihubungi terpisah, Kepala Sub Direktorat Malaria Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dr Asik Surya, MPPM, tidak sepakat jika dikatakan target eliminasi 2015 tidak tercapai. Sukses tidaknya eliminasi malaria harus dilihat secara utuh di seluruh wilayah Indonesia.

Asik mengatakan, saat ini ada 212 kabupaten dan kotamadya yang sudah mendapatkan sertifikat eliminasi malaria. Jika dilihat dari jumlah penduduknya, maka wilayah-wilayah tersebut telah mencakup lebih dari 50 persen jumlah penduduk Indonesia.

"Target kita sekarang, pada tahun 2015 akan ada 337 kabupaten dan kotamadya yang sudah eliminasi. Kalau itu tercapai, maka lebih dari 80 persen penduduk Indonesia sudah tercakup di dalamnya," jelas Asik.

 

Peran swasta

Para perantau asal Kokap, Kulonprogo banyak terinfeksi malaria saat berada di tempat kerjanya di luar Pulau Jawa. Elsa dalam laporan ilmiahnya di Malaria Journal mengapresiasi adanya kepedulian dari salah satu perusahaan terkait masalah ini.

Salah satu perusahaan tambang yang mempekerjakan para perantau asal Kulonprogo disebutkan mengalami kerugian setiap kali ada karyawan yang terjangkit malaria. Produktivitas berkurang karena selama sakit, karyawan tersebut paling tidak akan absen selama 1 minggu.

Tak ingin terus merugi, perusahaan tersebut akhirnya memberikan fasilitas kesehatan seperti kelambu dan tes malaria secara rutin. Pengambilan gaji dan fasilitas mudik untuk karyawan juga harus disertai hasil tes darah oleh tenaga kesehatan.

"Saya tidak tahu nama perusahaan dan di mana lokasinya, tapi informasi ini terkonfirmasi. Saya pikir ini bagus, jadi tidak harus semuanya dibebankan pada pemerintah. Semua pihak harus terlibat dalam pemberantasan malaria," tandas Elsa. (up)
Halaman 2 dari 6
Melalui Peraturan Bupati (Perbup) No 67/2013 tentang Eliminasi Malaria, pemerintah Kulonprogo telah menetapkan kebijakan terkait malaria yang ditularkan para pendatang. Ketika memasuki wilayah Kulonprogo, pendatang diwajibkan melaporkan diri ke Puskesmas atau Juru Malaria Desa untuk diambil sampel darahnya.

Begitu pun, setiap keluarga yang mengetahui adanya pendatang dari luar daerah juga diimbau sesegera mungkin melapor pada Ketua RT/RW atau Kepala Desa. Laporan tersebut akan diteruskan ke Puskesmas, lalu petugas akan datang dalam waktu kurang dari 24 jam untuk mengambil sampel darah.

Di beberapa desa di Kecamatan Kokap, warga cukup mematuhi imbauan ini. Begitu mendapat informasi tentang pendatang baik di keluarga sendiri maupun di lingkungan sekitarnya, warga langsung menghubungi petugas yang disebut Juru Malaria Desa (JMD) melalui pesan singkat (SMS).

"Karena memang sudah sering terjadi wabah, warga di sini umumnya kapok. Bukan cuma kalau ada pendatang, ada yang demam sedikit saja mereka lapor minta dicicik (diambil sampel darah)," kata Subari, petugas JMD di Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap.

Namun di tempat lain, pendatang hanya melapor jika mengalami gejala klinis malaria seperti demam dan muntah-muntah. Petugas yang mendapat laporan pun tidak selalu bisa bertemu dengan para pendatang. Karena merasa dirinya sehat-sehat saja, para pendatang menjadi kurang kooperatif. Mereka tidak merasa perlu untuk bertemu dengan petugas dan memilih berkeliling mengunjungi kerabatnya untuk bersilaturahmi, memanfaatkan masa-masa liburannya.

Dinas Kesehatan Kabupaten Kulonprogo mengakui, kurangnya sosialisasi Perbup membuat penemuan kasus pada para pendatang masih belum optimal. Di tempat lain di wilayah Perbukitan Menoreh, JMD harus bekerja keras. Mereka harus aktif berburu informasi tentang adanya pendatang maupun warga dengan gejala klinis malaria.

"Tidak seperti Perda (Peraturan Daerah), Perbup tidak mengatur sanksi. Saya kira memang di situ kelemahannya," kata Slamet Riyanto, SKM, Kepala Seksi Pemberantasan Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kulonprogo.

 

Wabah malaria di Kokap Kulonprogo yang terjadi pada tahun 2012 cukup mengejutkan, karena ketika itu wilayah tersebut hampir mencapai status eliminasi. Sejak dicanangkan Gebrak Malaria tahun 2001, Annual Parasite Incidence (API) atau jumlah kasus infeksi pada tiap 1.000 penduduk sudah mengalami penuruhan. Namun pada 2011, angkanya mendadak naik hingga akhirnya terjadi wabah di tahun 2012.

Penelitian Elsa menunjukkan adanya keterkaitan dengan berkurangnya tingkat kewaspadaan, yang terwakili oleh penurunan jumlah personel Juru Malaria Desa (JMD). Contohnya di Desa Kalirejo yang memiliki 9 dusun, dari 3 JMD pada 2007 menjadi 1 JMD pada 2010. Kondisi yang sama juga terjadi di Desa Hargotirto yang memiliki 14 dusun, dari 7 JMD menjadi hanya 3 JMD.

Sri Harjanto dari Puskesmas Kokap II sependapat dengan hasil penelitian Elsa. Menurutnya, jumlah JMD sebanyak 9 orang yang ada saat ini masih kurang mencukupi untuk menjangkau wilayah kerjanya yang mencakup 14 dusun, tersebar di Desa Hargotirto dan Desa Hargowilis. Mengingat medan yang ekstrem dan berbukit-bukit, tiap-tiap dusun idealnya memiliki 1 petugas.

Salah satu fungsi JMD adalah melakukan surveillance, pengamatan terus-menerus agar bisa segera mengetahui saat ada kasus malaria, baik pada penduduk lokal maupun pada penduduk yang bermigrasi dari dan ke daerah endemis di luar Pulau Jawa. Beban kerja yang meningkat 2-3 kali lipat akibat pengurangan jumlah JMD dinilai membuat fungsi tersebut tidak optimal.

"Bisa dibilang terlena. Ketika jumlah kasus berkurang, kewaspadaan cenderung menurun," kata Elsa Herdiana, peneliti malaria dari Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

 

Selain medan yang luas dan berbukit-bukit, posisi geografis Kecamatan Kokap yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Purworejo Jawa Tengah juga menjadi tantangan tersendiri bagi petugas di lapangan. Di lapangan, kerja sama antardaerah tidak berjalan.

Misalnya saat dilakukan penyemprotan di satu desa, seharusnya desa yang berbatasan langsung juga melakukan langkah sama agar nyamuk benar-benar mati dan tidak hanya berpindah tempat. Kenyataannya, dua desa yang berbeda wilayah administratif tersebut tidak selalu kompak dalam menerapkan strategi pemberantasan malaria.

Begitu pula dengan migrasi penduduk. Dibandingkan saat para perantau pulang mudik, migrasi di wilayah yang berbatasan langsung relatif lebih sulit dipantau. Waktu kunjungan cenderung singkat menyulitkan petugas JMD untuk mengambil sampel darah.

Hubungan kekerabatan yang cukup dekat antara kedua wilayah juga membuat penduduk yang bermigrasi tidak merasa perlu untuk melapor ataupun melakukan tes darah di tempat tujuan. Padahal dengan posisi yang sama-sama berada di Perbukitan Menoreh kedua wilayah rentan saling menularkan malaria.

Harjanto mencatat, peningkatan jumlah kasus pada 2011 yang akhirnya menjadi wabah pada 2012 terjadi saat Kabupten Purworejo sama-sama mengalami peningkatan jumlah kasus. Angka untuk seluruh kabupaten Purworejo saat itu bahkan lebih tinggi dibandingkan jumlah kasus di Kabupaten Kulonprogo.

"Ada sekitar 1.000 kasus di Purworejo, sebagian besar terfokus di perbatasan. Saat itu, di wilayah Kulonprogo belum sebanyak itu," kata Harjanto.

 

Sebagai satu-satunya kabupaten di Dearah Istimewa Yogyakarta yang belum bebas dari malaria, Kulonprogo punya tugas berat untuk menyusul Kotamadya Yogyakarta dan 3 kabupaten lainnya yang sudah mendapatkan sertifikat eliminasi malaria dari Kementerian Kesehatan. Salah satunya dengan mengintensifkan peran Juru Malaria Desa (JMD).

"Tahun 2013 kita sebar JMD merata ke seluruh Kulonprogo, tahun ini kita konsentrasikan ke Menoreh saja. Mencakup Kecamatan Kokap, Girimulyo, dan Samigaluh," kata Slamet Riyanto dari Dinas Kesehatan Kulonprogo.

Soal target eliminasi, Slamet memilih bersikap realistis. Target eliminasi tahun 2015 untuk wilayah Jawa dan Bali seperti yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No 293/2009 diakuinya tidak mungkin terwujud di Kulonprogo.

Eliminasi tercapai jika dalam 3 tahun berturut-turut jumlah kasus kurang dari 1 kasus/1.000 penduduk dan tidak ditemukan kasus indigenous (penularan setempat). "Kalau tahun ini saja masih ditemukan, berarti 2015 memang tidak mungkin. Target kita sekarang tahun 2018," lanjut Slamet.

Dihubungi terpisah, Kepala Sub Direktorat Malaria Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dr Asik Surya, MPPM, tidak sepakat jika dikatakan target eliminasi 2015 tidak tercapai. Sukses tidaknya eliminasi malaria harus dilihat secara utuh di seluruh wilayah Indonesia.

Asik mengatakan, saat ini ada 212 kabupaten dan kotamadya yang sudah mendapatkan sertifikat eliminasi malaria. Jika dilihat dari jumlah penduduknya, maka wilayah-wilayah tersebut telah mencakup lebih dari 50 persen jumlah penduduk Indonesia.

"Target kita sekarang, pada tahun 2015 akan ada 337 kabupaten dan kotamadya yang sudah eliminasi. Kalau itu tercapai, maka lebih dari 80 persen penduduk Indonesia sudah tercakup di dalamnya," jelas Asik.

 

Para perantau asal Kokap, Kulonprogo banyak terinfeksi malaria saat berada di tempat kerjanya di luar Pulau Jawa. Elsa dalam laporan ilmiahnya di Malaria Journal mengapresiasi adanya kepedulian dari salah satu perusahaan terkait masalah ini.

Salah satu perusahaan tambang yang mempekerjakan para perantau asal Kulonprogo disebutkan mengalami kerugian setiap kali ada karyawan yang terjangkit malaria. Produktivitas berkurang karena selama sakit, karyawan tersebut paling tidak akan absen selama 1 minggu.

Tak ingin terus merugi, perusahaan tersebut akhirnya memberikan fasilitas kesehatan seperti kelambu dan tes malaria secara rutin. Pengambilan gaji dan fasilitas mudik untuk karyawan juga harus disertai hasil tes darah oleh tenaga kesehatan.

"Saya tidak tahu nama perusahaan dan di mana lokasinya, tapi informasi ini terkonfirmasi. Saya pikir ini bagus, jadi tidak harus semuanya dibebankan pada pemerintah. Semua pihak harus terlibat dalam pemberantasan malaria," tandas Elsa. (up)

(up/up)

Berita Terkait