MDR-TB merupakan penyakit TB yang telah kebal terhadap beberapa jenis obat, sehingga pengidapnya harus mengonsumsi obat TB lini II. Pengobatan dengan obat lini II membutuhkan waktu lebih lama yakni sekitar dan harganya pun jauh lebih mahal.
Resistensi atau kekebalan terhadap obat TB muncul antara lain karena ketidakpatuhan menjalani pengobatan. Terkadang, pasien berhenti berobat saat merasa gejalanya sudah membaik. Padahal saat itu belum tentu kumannya mati. Kuman yang tidak benar-benar mati akan membentuk kekebalan ketika pengobatan dihentikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Data dari RSUP Persahabatan menunjukkan, dari 1.000 pasien telah terkonfirmasi MDR-TB hanya sekitar 800 yang menjalani pengobatan. Sebanyak 200 pasien sisanya tidak menjalani pengobatan dengan berbagai alasan.
Pasien yang tidak berobat menjadi kekhawatiran para dokter karena berpotensi menularkan kuman-kuman yang kebal obat. Penularan terjadi melalui droplet atau bercak dahak yang menyebur saat batuk, bersin maupun berbicara.
Organisasi kesehatan dunia, WHO memiliki visi untuk menanggulangi penderita TB yang dicanangkan akan terpenuhi pada tahun 2050, yaitu Zero Death, Zero Disease, Zero Suffer. Strategi yang dilakukan WHO dalam mengurangi jumlah penderita MDR yaitu memperkecil jumlah kesalahan diagnosa awal pada pasien.
"Terdapat 3 juta kasus kesalahan diagnosa di beberapa negara Asia," kata Christopher Raymond, Konsultan USAID.
(up/up)











































