Peraturan Pemerintah (PP) No. 33 tahun 2012 mengatur pemberian ASI Ekslusif dan pelarangan pemberian susu formula (sufor) oleh petugas kesehatan. Meski sudah dilarang, nyatanya masih banyak Puskesmas yang membagikan sufor kepada masyarakat.
Memang pembagian ini tak dilakukan sembarangan. Sufor dan biskuit biasanya diberikan secara gratis oleh Puskesmas kepada para bayi dan balita yang berat badannya berada di bawah garis merah dan mengalami gizi kurang atau gizi buruk. Namun karena sudah dipayungi PP, seharusnya praktik ini sudah tidak dilakukan lagi karena melanggar ketentuan Pemerintah.
Menanggapi hal ini, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, dr Dien Emawati mengatakan bahwa sebenarnya program penanganan gizi buruk dan gizi kurang sudah tidak lagi membagi-bagikan sufor dan biskuit dengan adanya program Therapeutic Feeding Center (TFC) di beberapa Puskesmas. Namun fasilitas yang terbatas membuat program ini tak bisa dilakukan di seluruh wilayah DKI.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diakuinya bahwa program penanganan gizi kurang dan gizi buruk DKI terhambat karena anggaran dan pengadaan. Idealnya, yang dibagikan adalah makanan penunjang ASI (MP-ASI) yang terdiri dari sayuran, telur, tepung terigu dan buah. Namun karena sistem pengadaan yang mengharuskan tender, otomatis ini tidak bisa dilakukan.
"Kalau cuma satu dua kali kan bisa beli sendiri sedikit-sedikit. Tapi ini kan banyak, nominalnya bisa Rp 200 juta untuk satu Puskesmas dengan 4.000-6.000 KK, jadi harus tender. Kalau tender berarti dibelinya sekaligus untuk satu tahun, mana tahan itu telur, sayur dan buah dipendam selama satu tahun baru dibagikan, busuk kan," ungkap dr Dien.
Alasan itulah yang membuat banyak Puskesmas akhirnya lebih memilih men-tenderkan sufor dan biskuit. Selain memiliki daya tahan yang lebih lama, proses pembelian pun praktis karena sudah dalam kemasan.
Meski begitu, dr Dien menjamin bahwa ia tidak akan berlama-lama melawan aturan PP. Saat ini sudah ada program untuk menanggulangi masalah pembagian bahan-bahan makanan penunjang untuk bayi dan balita dengan gizi buruk. Kerjasama dengan industri kebutuhan pokok menjadi jalan keluarnya.
"Jadi kita masih menunggu APBD 2015 yang belum disahkan DPRD. Nanti programnya ganti nggak bagi-bagi sufor dan biskuit lagi. Jadi kita tetap tender tapi kerjasama sama penjualnya. Dibeli untuk satu tahun tapi dikirimnya bertahap sehingga bisa dipastikan bahan makanan yang diterima masih fresh dan segar," pungkasnya.
Seorang pegiat ASI Eksklusif, dr Wiyarni Pambudi SpA, IBCLC, juga kurang sepakat dengan pemberian susu formula di Puskesmas. Jika anak-anak di atas usia 6 bulan susah mengalami peningkatan berat badan, maka perlu dievaluasi apakah MP-ASI yang diberikan sudah tepat atau belum.
"Jadi pendekatannya bukan langsung 'ditabrak' dengan pemberian susu formula," kata dokter yang populer dengan julukan dr Oei alias dr Wi ini.
(mrs/up)











































