Tim peneliti dari University of Leuven, Belgia mendapatkan fakta ini setelah mempelajari sejumlah kasus HIV (Human Imunodeficiency Virus) di Kuba. Di negara yang terletak di kawasan Amerika Tengah ini dilaporkan terjadi peningkatan jumlah pasien AIDS hanya dalam kurun tiga tahun setelah terpapar HIV untuk pertama kali.
Baca juga: Kemenkes Pastikan HIV Tidak Menular Melalui Pakaian Bekas
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas sampel darah ke-52 orang tadi dibandingkan dengan sampel darah 22 pasien AIDS yang terinfeksi virus dengan strain yang lebih umum. Ternyata dalam darah ke-52 pasien itu terkandung lebih banyak HIV dibandingkan mereka yang terkena AIDS karena virus dengan strain lama.
Oleh peneliti, strain HIV baru ini kemudian diberi nama CRF19. 'Kelebihannya', ketika seseorang terinfeksi strain virus ini, ia bisa terkena AIDS hanya dalam kurun 2-3 tahun setelah pertama kali didiagnosis terpapar virus. Padahal umumnya, proses ini memakan waktu sekitar 10 tahun.
"Kami telah memastikan bahwa pasien baru terinfeksi 1-2 tahun sebelumnya. Sebab saat kami lakukan tes HIV, hasilnya mereka tidak terinfeksi HIV 1-2 tahun sebelumnya. Tapi di tahun ketiga, tahu-tahu mereka sudah terkena AIDS," ungkap peneliti utama, Professor Anne-Mieke Vandamme.
Seperti dikutip dari jurnal EBioMedicine, Rabu (18/2/2015), peneliti bahkan menduga saking cepatnya perkembangan strain ini, si pasien mungkin tidak menyadari kalau ia sudah terinfeksi.
Lantas mengapa bisa begini? Prof Vandamme menduga ada perubahan fase dalam perkembangan virus HIV. Jadi secara umum, sebelum bisa masuk ke sel tubuh manusia, virus HIV harus menambatkan dirinya ke sel tersebut. Namun tidak langsung menempel ke sel, melainkan ke semacam 'titik jangkar' yang ada di sel dan sebenarnya adalah protein dari membran atau lapisan luar sel.
"Pada infeksi normal, virus akan menempel pada 'titik jangkar' yang disebut CCR5. Tapi setelah melalui periode laten, virus ini lama-lama berpindah ke 'titik jangkar' lainnya yang disebut dengan CXCR4 untuk bisa cepat masuk ke sel. Kami menduga, strain baru ini bisa langsung 'nemplok' di titik kedua lebih cepat setelah pasien terinfeksi," jelasnya.
Akibatnya, periode laten virus HIV-nya menjadi pendek dan kondisi kesehatan pasien memburuk secara drastis. Pada akhirnya, si pasien akan mulai memperlihatkan gejala AIDS lebih cepat daripada pasien yang terinfeksi strain HIV biasa.
Peneliti semakin yakin dengan dugaan perubahan fase tersebut setelah menemukan molekul RANTES dalam jumlah tinggi di tubuh pasien dari Kuba. RANTES merupakan salah satu bagian dari sistem kekebalan manusia yang seharusnya berkolaborasi dengan CCR5 untuk mencegah virus HIV 'menempel' ke sel untuk pertama kali.
Namun dengan tingginya kadar molekul RANTES dalam tubuh pasien Kuba, itu artinya protein CCR5 yang ada di tubuh pasien tidaklah sebanyak seharusnya, sehingga virus HIV bisa melompat langsung ke 'titik jangkar' kedua dan mempercepat perkembangannya menjadi AIDS.
"Sejauh ini kami telah menemukan 144 pasien yang terkena virus rekombinan ini, bahkan mungkin bisa lebih. Rekombinan ini awalnya berasal dari Afrika tapi kami tak tahu bagaimana bisa menyebar ke Kuba, dan kami lihat penyebarannya masih tergolong lambat. Jadi belum ditemukan dimanapun," kata Prof Vandamme.
Untungnya sang profesor juga mengatakan sebagian besar pengobatan untuk AIDS yang ada saat ini masih efektif untuk mengatasi strain HIV yang baru ini. Asalkan diagnosis dan pengobatannya dilakukan lebih dini tentunya.
Baca juga: Wow! Aplikasi Smartphone Ini Mampu Cek HIV dan Raja Singa dalam 15 Menit
(lil/up)











































