Mark Baker, Direktur Praktisi Klinis dari National Institute for Health and Care Excellence, Inggris, mengatakan bahwa resistensi obat dapat membahayakan umat manusia di masa depan. Karena itu, langkah seperti apapun, termasuk memberikan bonus bagi dokter yang meresepkan antibiotik, harus dilakukan.
"Ini isu yang sangat penting. Tak usah terlalu memusingkan soal biaya, ini soal keberlangsungan umat manusiat. Bakteri yang ada saat ini sangat pintar dan dapat berkembang cepat jika kita ceroboh menggunakan antibiotik," tutur Baker, dikutip dari berbagai sumber, Rabu (18/2/2015).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
NICE menyoroti banyaknya dokter yang meresepkan antibiotik untuk kasus penyakit ringan seperti batuk dan demam. Jika hal ini dibiarkan, antibiotik tidak akan lagi mempan ketika penyakit lebih berat seperti infeksi kulit, telinga atau bronkitis dan pneumonia.
Untuk itu, Baker menyarankan agar ada bonus khusus yang diberikan bagi dokter ketika mereka tidak meresepkan antibiotik. Peraturan bernama Quality and Outcomes Framework ini memberikan bonus antara Rp 30 hingga Rp 50 juta dalam setahun.
"Hal ini merupakan solusi bagi meningkatnya resep antibiotik oleh dokter belakangan ini. Insentif akan membuat praktik ini berkurang dan para dokter akan jarang meresepkan antibiotik," ungkap Baker.
Baca juga: Gunakan Antibiotik Berlebihan, Balita Australia Nyaris Meninggal
Usulan ini ternyata menuai kontroversi. Roger Goss dari Patient Concenr mengatakan bahwa bisa saja nantinya praktik peresepan antibiotik oleh dokter benar-benar berhenti. Dokter akan memilih tidak meresepkan antibiotik karena iming-iming bonus yang besar.
"Insentif ini akan jadi bumerang ketika dokter tidak memberikan antibiotik kepada pasien yang membutuhkan, karena mereka memilih meningkatkan pendapatan finansialnya," tutur Goss.
(mrs/vit)











































