Pasien Kanker Payudara Tak Melulu Harus Jalani Kemoterapi

Pasien Kanker Payudara Tak Melulu Harus Jalani Kemoterapi

- detikHealth
Rabu, 11 Mar 2015 18:46 WIB
Pasien Kanker Payudara Tak Melulu Harus Jalani Kemoterapi
ilustrasi (Foto: thinkstock)
Jakarta - Kemoterapi menjadi salah satu pengobatan yang umum diberikan kepada pasien kanker. Pada pasien kanker payudara pun, para pasiennya tak melulu harus menjalani kemoterapi.

"Penelitian di Kanada tahun 2.000 melihat berapa efektivitas kemoterapi pada pasien kanker payudara, risiko rendah dan tingginya dihitung berdasarkan genetik. Ternyata yang efektif dikemo sebenarnya 30%," tutur dr Walta Gautama SpB(K)Onk dari RS Kanker Dharmais.

Sedangkan pada 70% sisanya, berdasarkan penelitian tersebut disebutkan kemoterapi bisa berefek sama saja dengan tidak dikemo atau justru sebaliknya, justru membuat keadaan pasien lebih buruk lagi. Artinya, menurut dr Walta perlu ada pertimbangan terlebih dulu apakah pasien memang perlu dikemo atau tidak.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau di luar negeri ada pemeriksaan khusus di mana nanti akan keluar angka si pasien ini masuk dalam kategori high risk atau low risk. Kalau high ya harus dikemo berarti," imbuh dr Walta di sela-sela temu media dengan Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI) di Hotel Milenium, Kebon Sirih, Jakarta, Rabu (11/3/2015).

Baca juga: 6 Bulan Kemoterapi Padahal Tak Kena Kanker, Otot Nenek Ini Rusak Permanen

Pria yang juga menjabat sebagai wakil ketua III YKPI ini menuturkan pertimbangan perlu tidaknya kemoterapi yakni jika usia pasien makin muda, maka kemungkinan dikemoterapi lebih besar. Ukuran tumor dengan diameter lebih dari 3 cm pun wajib dikemoterapi dan ketika derajat keganasannya mencapai tingkat tiga. Kemudian, dilihat pula ada atau tidak kebocoran atau emboli yang bocor dari tumor sehingga masuk ke saluran payudara atau limfatik.

"Dilihat juga kelenjar getah beningnya bagaimana? Kalau ada kelenjar getah bening lebih dari 4 pertimbangan kemoterapi makin besar. Kemudian progesteron dan estrogen receptornya dilihat, status HER2, juga KI 67 sebagai biomarker. Kalau itu hasilnya tinggi, kemungkinan dikemo makin tinggi," terang dr Walta.

Ia mencontohkan ada pasiennya yang baru saja menikah tiga bulan dan kena kanker payudara. Untuk memutuskan perlu atau tidak si pasien dikemo, dr Walta mempertimbangkannya terlebih dulu melalui beberapa indikator tersebut. Hasilnya, ternyata progesteron dan estrogen receptor si pasien positif.

"Berarti kan kadar hormonnya tinggi dia, untuk mencegah penyebaran sel kanker selama dia diobati karena dia juga kankernya masih awal ya, tidak perlu dikemo tetapi kadar hormon dia harus ditekan. Caranya, dengan membuat dia menopause sementara selama 3 tahun kurang lebih, diberi obat untuk 'mengikat' hormon estrogennya, juga membatasi asupan makanan yang bisa menambah kadar estrogen seperti makanan berlemak dan kedelai," kata dr Walta.

Baca juga: Kemoterapi Tak Cuma untuk Pasien Kanker Stadium Akhir, Tapi Juga Awal

(rdn/vta)

Berita Terkait