Deputi Direktur dan Kepala Unit Identifikasi DNA Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, dr Herawati Sudoyo, PhD, mengatakan bahwa secara awam, DNA bisa disebut sebagai cetak biru manusia. Sehingga jika seseorang mengalami pemerkosaan, pelaku bisa ditemukan dengan menganalisis DNA yang ditemukan dari berbagai barang bukti.
"Memang tidak semua kasus pemerkosaan membutuhkan tes DNA, tapi kalau tersangka menyangkal atau denial ini kan termasuk sering, paling banyak, bisa pakai tes DNA," tutur dr Hera dalam lokakarya Tes DNA dalam Delik Susila, di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jl Pangeran Diponegoro, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (26/3/2015).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
dr Hera menjelaskan bahwa kasus perkosaan tidak akan berdiri sendiri. Dalam artian, pelaku biasanya tidak hanya melakukan penetrasi ke alat kelamin korban, namun juga melakukan tindakan lain seperti memeluk, menggigit, memukul atau bahkan mencakar korban.
Kontak yang pelaku tinggalkan di tubuh korban bisa digunakan sebagai sampel DNA. Contohnya, jika pelaku menggigit korban, maka sampel DNA yang bisa diambil dari bekas gigitan adalah air liur pelaku.
"Bisa juga yang lain misalnya kalau korban mencakar pelaku, maka di kuku korban pasti ada bagian kulit atau sel pelaku yang tertinggal," tuturnya lagi.
Setelah sampel DNA dari tubuh korban diterima, langkah selanjutnya adalah mengambil sampel DNA dari tubuh tersangka. Pada beberapa kasus, bisa saja tersangka pemerkosaan berjumlah lebih dari satu orang. Karena itu, tes DNA juga bisa digunakan untuk mengeliminasi tersangka yang tidak bersalah.
Jika hasilnya sama, maka bisa dipastikan tersangka adalah pelakunya. Secara otomatis, tersangka lain yang sampel DNA-nya tidak cocok gugur dan dinyatakan tidak bersalah.
Baca juga: Tes DNA Juga Penting untuk Bantu Temukan Kembali Anak yang Hilang
(rsm/vit)











































