Yang kedua terjadi keesokan paginya. Punggungnya terasa nyeri dan kedua kakinya mati rasa. Bukannya curiga, gadis berumur 19 tahun itu malah menganggap itu gara-gara mabuk berat.
Di hari ketiga, barulah Rachael merasakan ada masalah. Di pagi hari, ia tak lagi bisa menggerakkan kedua kakinya. "Malam sebelumnya, kaki saya terasa berat, tapi saya kira itu karena sepatu baru saya. Namun keesokan harinya kaki saya tak bisa digerakkan sehingga saya harus merangkak untuk turun dari tempat tidur," kisahnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah didiagnosis, dokter mewanti-wanti jika kelumpuhan yang dialami Rachael akan menyebar ke seluruh tubuhnya. Dan dalam hitungan hari, Rachael sudah kesulitan bernapas sehingga ia harus dipasangi ventilator. Berikutnya, Rachael dinyatakan sama sekali lumpuh, tak bisa bernapas, bahkan berkedip, dan kondisi ini berlangsung hingga lima bulan lamanya.
"Kata dokter, normalnya penyakit ini hanya menyerang salah satu dari wajah atau tubuh. Tapi karena di saya keduanya terdampak, maka saya kehilangan kemampuan bicara dan bernapas," paparnya seperti dikutip dari Nottingham Post, Selasa (1/9/2015).
Di sisi lain, Rachael juga mengalami nyeri luar biasa karena serabut-serabut sarafnya terus mengirimkan pesan yang keliru ke otak Rachael. Mau tak mau, Rachael harus rela menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah sakit, termasuk untuk fisioterapi intensif serta pengobatan lainnya.
Karena yang bisa bergerak hanya kelopak matanya, ia pun hanya bisa diajak berkomunikasi dengan memanfaatkan papan alfabet atau dengan isyarat mata.
Baca juga: Awalnya Kesemutan Hingga Tak Bisa Naik Motor, Rupanya Remaja Ini Kena GBS
Namun berkat terapi dan pengobatan yang intensif, kemampuan gerak gadis asal Ruddington, Nottinghamshire itu kembali hanya dalam waktu dua bulan. Dimulai dengan otot di wajah, menjalar ke otot lengan, tangan kemudian kedua kakinya.
Pada bulan Maret lalu, Rachael akhirnya diperbolehkan pulang dan berjalan tanpa alat bantu setelah 59 hari berada dalam keadaan kritis dan 76 hari direhabilitasi. "Hal pertama yang saya ucapkan adalah terima kasih kepada para perawat dan ungkapan cinta untuk keluarga saya," katanya.
Kesembuhan Rachael tak dapat dilepaskan dari peranan 50 orang tim medis di Queen's Medical Centre dan Nottingham City Hospital. Dokter yang menangani Rachael, Dr Thearina de Beer sendiri kagum dengan cepatnya pemulihan Rachael.
"Gejalanya berlangsung dengan cepat, dari normal, tiba-tiba saja dipasangi ventilator dalam tiga hari. Tapi makin cepat munculnya, itu berarti makin buruk," terang Dr de Beer.
Namun Dr de Beer salut karena Rachael menjalani seluruh terapi yang dibutuhkan dengan penuh kesabaran meski rasa sakit dan lemas yang harus ditahan begitu besar. "Lega melihat Rachael saat ini. Semua kerja keras akhirnya terbayar, dan semua berkat Rachael sendiri," paparnya.
Baca juga: Setelah Era Polio, Kelumpuhan Kini Banyak Disebabkan Sakit GBS
Setelah dinyatakan pulih, Rachael yang sedang menempuh studi di jurusan kriminologi, Liverpool John Moores University saat GBS melumpuhkannya, berencana untuk mengambil jurusan lain pada bulan September mendatang. Ia ingin mengubah karirnya menjadi seorang fisioterapis karena terinspirasi oleh tim medis yang merawatnya selama ini. (lll/up)











































