"Kenapa harus kretek? Dalam undang-undang sudah disebutkan tembakau itu mengandung zat adiktif. Masa warisan budaya kita seperti itu?" tutur dr Kartono Muhammad, Ketua Dewan Pembina Komnas Pengendalian Tembakau.
Pernyataan tersebut dikatakannya dalam diskusi Intervensi Industri Rokok dalam Pengendalian Tembakau, di Hotel Atlet Century, Jl Pintu Satu Senayan, Jakarta Selatan, Senin (21/9/2015).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dijelaskan dr Kartono bahwa daripada kretek, akan lebih baik sirih yang menjadi ikon budaya Indonesia. Budaya mengunyah sirih menurutnya, ditemukan di banyak kebudayaan lokal di Indonesia seperti Sumatera, Kalimantan hingga Bali.
Sementara di sisi lain, rokok kretek hanya ditemukan di budaya masyarakat Jawa, terutama Jawa Tengah. Bahkan di Indonesia hanya ada 3 provinsi yang memiliki perkebunan tembakau.
"Hanya ada 3 provinsi yakni Jawa Timur, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat. Dan tidak semua kabupaten dalam provinsi tersebut memiliki perkebunan tembakau," tutur mantan ketua Ikatan Dokter Indonesia ini.
Baca juga: Merokok Jauh-jauh Bukan Berarti Orang Lain 100% Tidak Terpapar Asap Rokok
Untuk itu dr Kartono mengatakan ada baiknya jika fokusnya diubah. Bukan lagi menggadang-gadangkan soal kretek sebagai budaya, namun lebih baik memikirkan bagaimana petani tembakau terlindungi sekaligus kesehatan masyarakat dapat terjaga.
"Bisa dilihat dari tata-niaganya, bagaimana caranya supaya kita bisa ekspor sehingga petani kita untung. Petani ditindas bukan karena peraturan, tetapi oleh industri rokoknya," pungkas dr Kartono. (mrs/up)











































