Mahirudin Achmad, Ketua Umum Himpunan Masyarakat Peduli ELGEKA Indonesia mengatakan bahwa pengobatan serta akses menuju pelayanan kesehatan bagi pasien CML masih tidak merata. Hal ini membuat pasien yang berada jauh di daerah sulit mendapat penanganan yang tepat dan menimbulkan risiko salah diagnosis.
Baca juga: Mengenal CML, Jenis Kanker Darah Langka yang Mematikan
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikatakan Mahirudin, pasien CML seringkali tidak mengetahui penyakitnya berbahaya dan dapat menyebabkan kematian. Penurunan berat badan diiringi demam dan berkeringat di malam hari memang gejala utama, namun sering dianggap remeh.
Pernyataan Mahirudin disetujui oleh dr Hilman Tadjoedin, SpPD-KHOM dari Perhimpunan Hematologi Onkologi Medik Ilmu Penyakit Dalam (Perhompedin). Gejala penyakit CML memang sulit dilihat, bahkan terkadang tidak bergejala. Cara paling mudah untuk mengetahuinya adalah dengan melakukan tes darah tepi atau mengambil sampel dari sumsum tulang.
Hanya saja, tidak semua daerah di Indonesia memiliki peralatan untuk melakukan hal tersebut. Karena itu seringkali penyakit ini tidak terdeteksi, atau salah diagnosa menjadi penyakit lain yang gejalan mirip seperti malaria.
"Terutama di Indonesia timur. Di sana kan masih banyak malaria. Gejalanya sama, demam, berkeringat di malam hari, rasa lelah terus-menerus bahkan sampai ada juga perut membesar. Makanya memang penyakit ini harus diberi perhatian lebih, jangan hanya di Jakarta karena di sini memang akses dan peralatan tersedia sehingga lebih mudah," ungkapnya.
Sama halnya dengan obat. Dikatakan dr Hilman bahwa ada 4 jenis obat CML yang sudah diakui secara ilmiah keefektifannya, yakni Nilotinib, Ponatinib, Dasatinib dan Imatinib. Hanya saja, belum semua jenis obat tersebut bisa ditemukan di Indonesia.
Baca juga: Langka dan Berbahaya, Apa Sih Penyebab CML?
(mrs/up)











































