Mikrosefali sendiri adalah sebuah kondisi kecacatan pada bayi akibat otaknya tak berkembang sempurna. Diduga kuat lonjakan kasus di Brazil penyebabnya adalah akibat infeksi virus Zika yang juga sedang mewabah.
Bayi dengan mikrosefali, karena otaknya kecil kemungkinan besar akan mengalami kecacatan dan tingkat inteligensinya rendah sehingga hal ini yang mungkin ingin dicegah para aktivis. Namun demikian menurut ahli kandungan dr Yuyun Lisnawati, SpOG(K), mikrosefali masih bisa ditangani sehingga aborsi sebetulnya tak diperlukan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tiap negara memang punya aturannya sendiri, tapi mikrosefali itu bukan suatu indikasi untuk melakukan terminasi. Bukan dia begitu lahir pasti akan mengalami kecacatan yang membuatnya tak berkesempatan untuk hidup," kata dr Yuyun ketika ditemui di RSUP Persahabatan, Jakarta Timur, Kamis (18/2/2016).
"Jadi tidak ada tempat untuk terminasi. Kan kita punya tim bedah yang akan mengkoreksi, yang mild (sedang -red) atau ringan bisa kok ditangani," lanjut dr Yuyun.
Para aktivis di Brazil yang memperdebatkan izin aborsi untuk mikrosefali ingin mengulang kesuksesan mereka seperti tahun 2012 lalu. Saat itu mereka menuntut agar ibu yang kandungannya terdiagnosa anensefali (janin tak punya sebagian besar otak) untuk bisa aborsi dan dimenangkan oleh Mahkamah Agung.
Hanya saja untuk tuntutan kali ini, menurut dokter kasus anensefali tak bisa disamakan dengan mikrosefali.
"Tapi itu sesuatu yang benar-benar berbeda. Pada anensefali bayi dapat dipastikan tak akan hidup lama sehingga aborsi hanya mempercepat kejadian yang tak bisa dielakkan. Para bayi yang lahir dengan mikrosefali masih bisa hidup," kata Eugenio Pita, dokter di Brazil yang sudah 20 tahun melakukan aborsi legal.
Baca juga: Kepunahan Nyamuk Bukan Solusi Cegah DBD, Zika dan Malaria
(fds/vit)











































