Allison Schmitt, Atlet Peraih Emas di Olimpiade yang Sukses Kalahkan Depresi

Allison Schmitt, Atlet Peraih Emas di Olimpiade yang Sukses Kalahkan Depresi

Muhamad Reza Sulaiman - detikHealth
Selasa, 20 Sep 2016 13:05 WIB
Allison Schmitt, Atlet Peraih Emas di Olimpiade yang Sukses Kalahkan Depresi
Allison berfoto dengan medali yang ia menangkan di Olimpiade Rio 2016 (Foto: Harry How/Getty Images)
Jakarta - Olimpiade 2016 merupakan momen spesial bagi Allison Schmitt. Atlet renang asal Amerika Serikat ini berhasil menyumbangkan medali emas bagi negaranya, sekaligus mengalahkan depresi yang menghantuinya sejak 4 tahun lalu.

Tak ada yang menyangka atlet berusia 26 tahun ini mengidap depresi. Rekan-rekan sekaligus pelatihnya di tim nasional renang Amerika Serikat menyebut Schmitt sebagai sosok yang periang, cuek, bermental positif dan tidak pernah terlalu mengambil pusing tentang hal yang bukan urusannya.

Schmitt sendiri mengakui pada awalnya ia tak mengira akan mengalami depresi. Ia tak pernah menganggap renang sebagai beban, meskipun tuntutan besar diembannya pada Olimpiade Rio 2016, setelah berhasil menyumbangkan tiga medali emas di Olimpiade London 2012 lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Aku berenang karena senang, hal itulah yang membuatku terus melaju. Aku bukan orang yang mudah terbebani dengan kata-kata dari orang lain," ucap Schmitt, seperti dilansir CNN.

Baca juga: Kisah sang Aktor Hollywood Bergulat dengan Depresi Seorang Diri

Bayang-bayang depresi muncul pertama kali pada tahun 2012, sesudah perhelatan Olimpiade London. Schmitt yang kala itu merupakan andalan tim renang Amerika Serikat berhasil menggondol 3 medali emas, 1 medali perak dan 1 medali perunggu, serta mencatat rekor terbaik di tiga pertandingan.

Schmitt dan rekan-rekannya di Olimpiade 2012 (Foto: Paul Drinkwater/NBC/GettyImages)Schmitt dan rekan-rekannya di Olimpiade 2012 (Foto: Paul Drinkwater/NBC/GettyImages)

Usai Olimpiade 2012, Schmitt yang periang dan cuek menjadi lebih mudah marah pada hal-hal kecil. Selain itu, ia mulai kehilangan motivasi saat berlatih dan lebih sering tidur. Bahkan ia mengaku dirinya bukanlah seseorang yang berprestasi dan menganggap dirinya tidak berharga.

Tentu saja hal ini menimbulkan konflik. Di satu sisi, lingkungan olahragawan dan atlet merupakan iklim yang keras. Pencapaian bisa diraih dengan usaha sekuat tenaga dan memaksakan diri sendiri. Di sisi lain, iklim tersebut membuat Schmitt sulit untuk mencari bantuan.

"Tidak ada tempat untuk bersikap cengeng bagi atlet. Anda akan dianggap menyianyiakan waktu pelatih dan membebani rekan tim Anda. Hal ini membuatku malu dan sulit bercerita tentang masalahku kepada orang lain," ungkapnya.

Pada awalnya, Schmitt memang dianggap hanya mengidap 'post-Olympic blues'. Namun seiring waktu berjalan, tidak ada tanda-tanda perbaikan pada diri Schmitt.

Puncak depresi terjadi pada tahun 2015. Schmitt yang kala itu sudah jengah, memaksakan diri untuk berlatih. Apa daya, depresi membuatnya tidak bisa mengeluarkan kemampuan maksimal dan malah menghambat rekan-rekannya. Pada titik ini, Schmitt menjadi lebih pemarah dan sempat akan mengundurkan diri dari tim renang.

Beruntung ada satu orang yang tidak menyerah dan mau menjangkau Schmitt. Orang itu adalah Michael Phelps, sosok legendaris di cabang olahraga renang sekaligus rekan satu tim Schmitt di tim renang Amerika Serikat.

Schmitt dan Michael Phelps bercanda di sesi latihan renang (Foto: Ronald Martinez/Getty Images)Schmitt dan Michael Phelps bercanda di sesi latihan renang (Foto: Ronald Martinez/Getty Images)

Hubungan Schmitt dan Phelps sangat dekat, mirip kakak dan adik. Phelps bercerita pada Schmitt bahwa ia pernah mengalami hal yang sama, pada periode yang sama pula. Ia mengatakan hal tersebut lumrah dialami atlet, dan menganjurkan Schmitt untuk meminta bantuan profesional.

Keputusan Schmitt untuk mencari bantuan profesional semakin bulat setelah sepupunya yang juga atlet bunuh diri pada bulan Mei 2015. Ia pun paham bahwa depresi adalah gangguan yang harus dihilangkan dan tak bisa didiamkan.

"Aku mulai menerima fakta bahwa aku membutuhkan bantuan. Depresi bukan hal yang memalukan. Hal yang harus aku lakukan adalah bertemu psikolog dan menceritakan masalahku," tambahnya lagi.

Scott Goldman, psikolog olahraga dari University of Michigan, mengatakan memang ada kecenderungan bagi atlet untuk merasa kehilangan seusai perhelatan ajang besar seperti Olimpiade. Apalagi jika atlet tersebut memiliki prestasi besar. Tuntutan dari orang-orang sekitar dan perasaan untuk harus lebih baik dari orang lain bisa membunuh kepercayaan diri dan akhirnya berubah menjadi depresi.

"Anda sudah berusaha maksimal untuk memenangkan sesuatu yang besar dan ketika hal tersebut usai, sangat wajar Anda merasa kehilangan. Rasa kehilangan ini pada sebagian orang bisa sangat menganggu kondisi jiwa mereka," paparnya.

Baca juga: Pernah Depresi, Bintang Serial TV Ini Kampanyekan Kesadaran Kesehatan Mental

Serangkaian terapi dan sesi bersama psikologis pun dilakukan Schmitt menjelang pemilihan anggota tim renang Amerika Serikat untuk Olimpiade Rio 2016. Pelatih dan rekan satu timnya pun melihat dan merasakan hal tersebut. Schmitt kembali ke dirinya yang periang dan tak lagi mudah marah.

Ia bahkan dipercaya menjadi kapten tim renang wanita Amerika Serikat. Alhasil, Schmitt dan rekan-rekannya berhasil menyumbangkan medali emas dan perak pada acara yang dilaksanakan bulan Juli-Agustus kemarin.

"Hidup merupakan perlombaan yang lebih besar daripada cabang olahraga apapun. Anda butuh bantuan semua orang yang Anda kenal untuk bisa memenangkan dan menemukan kebahagiaan dalam hidup," ungkap Schmitt.

Schmitt dan rekan-rekannya memenangkan medali emas di Olimpiade Rio 2016 (Foto: Jean Catuffe/Getty Images)Schmitt dan rekan-rekannya memenangkan medali emas di Olimpiade Rio 2016 (Foto: Jean Catuffe/Getty Images)
(mrs/vit)

Berita Terkait