Dipublikasi dalam jurnal Lancet Public Health, para peneliti dari University of Waterloo bersama Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan penurunan konsumsi rokok tersebut cukup berarti. Data dikumpulkan dari 126 negara yang menandatangani perjanjian dan ditemukan 90 negara tingkat konsumsi rokoknya menurun, 24 negara alami peningkatan, sementara 12 lainnya stabil.
Mengapa ada negara yang konsumsi rokoknya berkurang, stabil, atau malah meningkat menurut peneliti tergantung dari seberapa tegas pemerintah menerapkan FCTC. Di dalam perjanjian disebutkan bahwa pengendalian tembakau dilakukan dengan menerapkan pajak yang tinggi, ruang bebas rokok, peringatan bergambar, larangan iklan, dan dukungan layanan berhenti merokok.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada negara yang menerapkan penuh FCTC pada tahun 2015 tingkat perokoknya rata-rata berkurang 7,5 persen dibandingkan tahun 2005.
Geoffrey Fong salah satu peneliti mengatakan meski penerapan FCTC berdampak besar namun tidak dipungkiri kemungkinan adanya pengaruh lain. Hanya saja studi tidak dapat menganalisanya.
"Data kami tidak memungkinkan analisis secara rinci dampak dari kebijakan individual," kata Geoffrey seperti dikutip dari Reuters, Rabu (22/3/2017).
Indonesia sendiri merupakan salah satu negara penggagas FCTC namun hingga sekarang belum mengaksesinya. Menurut dr Soewarta Kosen dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, ada konflik kepentingan yang membuat aksesi FCTC menjadi alot.
"Kita ini trennya meningkat terus. Road map Kementerian Perindustrian menargetkan produksi 360 miliar batang per tahun, bandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia artinya satu orang harus menghisap 1.000-an rokok? Mau dijual keluar juga nggak bisa, nggak laku, karena negara lain sudah FCTC (Framework Convention on Tobacco Control -red)," kata dr Kosen beberapa waktu lalu.
Baca juga: Rokok Dibatasi Bakal Bikin Negara Rugi? Ah Siapa Bilang (fds/vit)











































