Dr Konstantinos Farsalinos, pakar kardiologi dari Onassis Cardiac Surgery Center yang juga seorang peneliti vape, mengatakan angka keberhasilan perokok ingin berhenti secara langsung (cold turkey) maupun menggunakan pengobatan medis (koyo dan permen karet nikotin) tergolong rendah. Karena itu menurutnya sudah saatnya mencari alternatif lain di luar dua metode tersebut.
Baca juga: Pro Kontra Cukai Vape, Pakar: Harusnya Pajak Rokok yang Ditinggikan
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengutip penelitian yang dipublikasikan oleh Public Health England, di mana vape disebut 95 persen lebih aman daripada rokok. Ia juga mengutip penelitian yang dilakukan Georgetown University Medical Center Amerika, di mana vape bisa menyelamatkan lebih dari 6,6 juta nyawa dari penyakit akibat merokok.
Tak hanya itu, Konstantinos juga pernah melakukan penelitian yang dipublikasikan di jurnal Addiction pada tahun 2016. Penelitian pada masyarakat Eropa tersebut menyebut 67,30 persen perokok berhenti merok dan secara berangsur-angsur menurunkan penggunaan vape.
Hal ini menurut Konstantinos terjadi karena vape bukan merupakan terapi medis. Sangat jarang perokok yang menganggap adiksi nikotinnya sebagai penyakit dan pergi ke dokter untuk berobat.
Merokok menurutnya lebih dianggap sebagai budaya dan gaya hidup. Karena itu vape bisa dijadikan solusi karena mengubah gaya hidup dari rokok konvensional ke rokok elektrik yang lebih aman.
Vape ditujukan untuk perokok yang ingin berhenti. Foto: Thinkstock |
Ke depannya, perubahan gaya hidup ini bisa membuat seseorang akhirnya berhenti total dari merokok dan nge-vape. Ia juga menegaskan bahwa vape tidak ditujukan bagi non-perokok seperti yang ditakutkan sejumlah pihak.
"Vape bukan ditujukan bagi non-perokok. Vape ditujukan bagi perokok yang ingin berhenti merokok, dan beralih ke gaya hidup yang lebih rendah risiko bahayanya," ungkapnya lagi.
Baca juga: Komentar Dokter Paru Soal Video Viral Anak SD yang Isap Vapor
Nikotin pada Vape
Pendapat berbeda disampaikan oleh dr Agus Dwi Susanto, SpP(K) dari RS Paru Persahabatan Jakarta. Menurut dr Agus, penggunaan vape untuk berhenti merokok, meskipun disebut hanya sebagai gaya hidup, tidaklah tepat.
Sebabnya, perokok yang menggunakan vape tidak bisa disebut berhenti merokok karena masih mengalami adiksi nikotin. Terlebih jika ingin disebut sebagai terapi, penggunaan dan pengawasannya harus dibawah supervisi dokter.
"Jadi kalau sudah berhenti merokok dan berhenti nge-vape baru diucapkan selamat Anda berhasil berhenti merokok. Kalau berhenti merokok tapi masih nge-vape ya sama, cuma pindah medium penyaluran nikotinnya," ujarnya saat dihubungi detikHealth secara terpisah.
dr Agus menyebut kandungan nikotin bisa menyebabkan adiksi. Selain nikotin, vape juga mengandung formaldehid dan gliserol yang bersifat karsinogenik, dan memiliki risiko bahaya yang sama seperti tar (residu pembakaran pada rokok).
Tak hanya nikotin, kandungan uap pada vape juga disebut mengandung partikel radikal bebas yang bisa memicu peradangan pada saluran napas. Peradangan ini bisa menyebabkan penyakit yang lebih berbahaya seperti penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) hingga penurunan fungsi paru.
"Walaupun kandungan sedikit, tapi efeknya kan akumulatif, tidak akan dilihat dalam 1-2 tahun ke depan. Tapi baru akan jadi penyakit 10 tahun lagi. Jadi menurut saya, sama saja bahayanya rokok konvensional maupun rokok elektrik," tutupnya.
Baca juga: Kata Para Vapers Soal Cukai untuk Rokok Elektrik
(mrs/up)












































Vape ditujukan untuk perokok yang ingin berhenti. Foto: Thinkstock