Kini bergelar dr Idhoen, ia mengaku sempat merasa 'salah jurusan kuliah' pada awalnya. "Saya baru mulai tertarik forensik di tingkat dua (kuliah). Dulu tuh masih kecil penginnya jadi hakim, polisi. Mungkin karena waktu kecil suka baca cerita detektif ya? Ya memang saya orangnya pecicilan ya," tutur dr Idhoen saat berbincang dengan detikHealth di kawasan Salemba, baru-baru ini.
Tak terhitung berapa kali ia bergelut dengan jenazah korban bencana maupun kecelakaan, dengan berbagai bentuk, utuh hingga potongan-potongan kecil. Namun dr Idhoen mengaku, dari awal ia tak pernah merasa takut atau jijik sekalipun menghadapi para jenazah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Daripada takut sama mayat, saya lebih takut orang hidup. Kalau mayat kan nggak bisa ngelawan. Misalnya korban pembunuhan, kan yang jahat yang masih hidup kan biasanya," kelakarnya.
Tiap kasus forensik baginya memiliki keunikan masing-masing. Pasti akan ada sesuatu yang baru yang dapat ia pelajari dari kasus tersebut. Bekerja sebagai dokter forensik membuat dr Idhoen selalu tak lupa bersyukur, bahkan profesi ini sangat didukung oleh sang suami tercinta.
dr Idhoen tergabung dalam tim Disaster Victim Identification (DVI) sejak 2002. Ia juga telah terlibat dalam beberapa bencana massal seperti Tragedi Bom Bali 2002, gempa Padang tahun 2009, serta kasus kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 yang terjadi pada Oktober lalu.
Wanita yang tampak bugar di usia 40an ini selalu berusaha maksimal dalam menjalankan tugas mulianya. Forensik menurutnya sangat dinamis, tak hanya bekerja di dalam (rumah sakit atau laboratorium) namun juga bisa di luar (di TKP), serta tak melulu bertemu jenazah namun ia juga kerap bertemu korban yang masih hidup.
"Kita bisa melihat bahwa kematian itu tidak melihat apakah kamu kaya, ganteng, cantik. Kalau udah meninggal ya sama semua. Kan mati tuh begitu tuh, busuknya sama," tandas dr Idhoen yang kini juga mengajar di Spesialis Forensik FKUI.












































