Strategi terbaru yang diperkenalkan Kementerian Kesehatan adalah TOP (Temukan, Obati dan Pertahankan). Mengapa harus TOP?
Diakui Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Kementerian Kesehatan, dr HM Subuh, MPPM, bicara tentang jumlah kasus HIV di Indonesia seringkali tak jauh-jauh dari fenomena 'gunung es'.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Prevalensi ini sendiri diperoleh dari perhitungan perkembangan kasus HIV di Indonesia berikut persebarannya. Namun bila angka yang ditemukan di lapangan bisa lebih dari, Subuh justru bersyukur, karena itu artinya keberhasilan bagi Kemenkes.
"Untuk melakukan survei, setidaknya kita harus mengambil sampel 10 persen dari populasi. Makanya target kita sampai 2019 itu 20 juta orang sudah harus dites sehingga kita tahu angka pastinya berapa,"
Dari survei yang selama ini dilakukan, dimulai pada tahun 2014, baru sekitar 11 juta orang yang sudah menjalani pemeriksaan HIV. Untuk keperluan tes ini sendiri, Kemenkes mengalokasikan dana sekitar Rp 700 miliar/tahun untuk bisa mencapai target 5-7,5 juta orang yang sudah dites.
Baca juga: Menkes Ajak Perangi HIV-AIDS Tanpa Diskriminasikan ODHA
Di balik itu, Subuh mengatakan masih ada kendala yang harus dihadapi timnya. Pertama, banyak orang yang masih segan untuk diperiksa. Kedua, kalaupun sudah 'ditemukan' dan 'diobati', tantangan berikutnya adalah 'mempertahankan' mereka.
"Karena begitu lepas, kita takut dia menjadi resisten. Karena masalahnya juga ada pada kepatuhan minum obatnya," imbuhnya.
Subuh mengingatkan, tes HIV ditargetkan pada kelompok-kelompok yang berpotensi atau berisiko dengan rentang usia 15-54 tahun, seperti pelaku seks bebas dan pengguna narkotika.
"Pemeriksaannya gratis, obatnya gratis, itu harus dimanfaatkan. Jadi ayo tes!" ajaknya.
Baca juga: Tentara pun Dikerahkan untuk Bantu Tekan Kasus HIV-AIDS di Jatim (lll/vit)











































