Biarkan Anak Bebas Bermain Jika Tak Ingin Ia Jadi Narsis

Biarkan Anak Bebas Bermain Jika Tak Ingin Ia Jadi Narsis

- detikHealth
Senin, 24 Feb 2014 19:45 WIB
Biarkan Anak Bebas Bermain Jika Tak Ingin Ia Jadi Narsis
Ilustrasi (Foto: Thinkstock)
Jakarta - Narsis atau yang dalam istilah ilmiah disebut Narcissistic Personality Disorder (NPD) adalah gangguan psikologis ketika seseorang memiliki rasa percaya diri yang sangat tinggi untuk kepentingan pribadinya dan juga rasa ingin dikagumi. Pada orang dewasa, penyebabnya bisa bermacam-macam. Namun pada anak, seringkali disebabkan karena mereka tidak boleh bermain bebas.

Peter Gray, Ph.D, professor psikologi dari Boston College, Amerika Serikat, mengatakan bahwa peningkatan narsisme di kalangan anak dan remaja sudah mencapai tahap yang mengkhawatirkan.

"70 Persen anak dan remaja saat ini mempunyai nilai skor narsisme yang tinggi dan empati yang lebih rendah dibandingkan anak dan remaja iga puluh tahun yang lalu," ujarnya seperti dikutip Forbes dari psichology today, dan ditulis pada Senin (24/2/2014).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk itu, ia sangat menyarankan orang tua agar membiarkan anak bermain tanpa pengawasan yang berlebihan dari orang tua. Ia berpendapat bahwa anak mempunyai insting naluriah untuk bermain bersama-sama, dengan bebas dan secara spontan.

Jika anak-anak bermain bebas dengan sesamanya, mereka akan tahu bahwa tidak akan bisa mengontrol anak-anak yang lain. Sehingga mau atau tidak mau mereka akan menumbuhkan kepribadian yang dapat menjembatani keinginannya dengan teman-temannya yang lain. Dengan menumbuhkan kepribadian bertoleransi seperti itulah empati dapat tumbuh.

"Empati adalah obat alami dari narsisme. Namun penumbuhan empati tidak akan bisa terjadi pada liga sepakbola anak dimana mereka bermain karena disuruh orang tua, dengan waktu yang terbatas dan semua anak menang," papar Prof Gray.

Pendapat tersebut diamini oleh Jean Twenge, profesor psikologi dari San Diego State University. Dalam buku The Narcissism Epidemic: Living in the Age of Entitlement yang ditulisnya bersama W. Keith Campbell, Prof Twenge mengatakan bahwa pernyataan 'semuanya adalah pemenang' merupakan kesalahan mendasar yang dilakukan orangtua.

Prof Twenge mengatakan bahwa ketika anak bermain dengan teman sebayanya, selalu ada yang menang dan yang kalah. Karena ada orang tua yang tidak ingin anaknya berlarut dalam kesedihan, akhirnya diputuskan bahwa semuanya menang.

"Padahal itu sangat tidak realistis dan dapat menumbuhkan narsisme pada anak," papar Prof Twenge seperti dikutip Forbes dari bukunya.

Bullying

Salah satu kekhawatiran orang tua sering memberi pengawasan berlebihan pada anak ketika mereka bermain adalah risiko anak terkena bullying oleh teman sebayanya. Padahal menurut Prof Gray, jika anak dibiarkan bermain secara bebas, risiko bullying yang terjadi hampir mendekati nol.

"Ketika bermain secara bebas, anak yang membully anak lain akan dengan segera diasingkan oleh kelompok tersebut," ujar Prof Gray.

Hal itu terjadi akibat toleransi yang kecil oleh anak-anak kepada rekan sebaya mereka yang menganggap dirinya spesial sehingga bebas melakukan tindak bullying kepada yang lain. Selain itu, teman bermain yang seusia dapat dengan mudah menghalau pertumbuhan ego berlebih yang mencirikan narsisme pada anak. Hal ini terjadi karena pada teman bermain yang seusia, seringkali candaan dan ejekan terlontar tanpa disadari. Akan tetapi, hal berbeda terjadi jika ada anak yang memang mempunyai bakat memimpin natural.

"Pada anak dengan bakat memimpin natural, mereka akan dapat melakukan apapun karena sudah mendapat kepercayaan dari kelompoknya," lanjut Prof Gray.

Lebih lanjut, profesor psikologi yang juga kontributor tetap situs psychology today tersebut mengatakan memberikan anak kebebasan bermain tidak hanya dapat mencegah anak menjadi narsis, namun juga mengajarkan anak untuk mengontrol diri, memecahkan masalah dan meningkatkan kreativitas mereka.

"Berdasarkan pengalaman saya, sangat sedikit manfaat yang didapat jika pengawasan orang tua terlalu berlebihan. Jika terus menerus didampingi, pada akhirnya anak akan merasa tidak mampu menyelesaikan sesuatu sendirian tanpa orang tua," pungkas Prof Gray.

(vit/vit)

Berita Terkait