Pertama Kali Datang Bulan di Usia Ini? Waspadai Risiko Sakit Jantung

Pertama Kali Datang Bulan di Usia Ini? Waspadai Risiko Sakit Jantung

- detikHealth
Rabu, 24 Des 2014 07:08 WIB
Pertama Kali Datang Bulan di Usia Ini? Waspadai Risiko Sakit Jantung
Ilustrasi (Foto: Thinkstock)
London - Usia di mana seorang gadis mendapatkan siklus menstruasi pertamanya biasanya dikaitkan dengan tingkat kedewasaan si gadis. Makin cepat, itu berarti ia dianggap lebih cepat dewasa ketimbang rekan-rekannya yang datang bulan belakangan.

Namun yang mengejutkan, baru-baru ini sejumlah peneliti dari Inggris menemukan bahwa usia di mana seorang gadis mengalami siklus haid pertamanya dapat dijadikan petunjuk apakah gadis yang bersangkutan berisiko terkena penyakit jantung, stroke dan hipertensi atau tidak.

"Setahu kami, anak yang obesitas atau kelebihan memang cenderung lebih cepat haid. Jadi dugaan adanya keterkaitan antara usia dengan risiko sakit jantung di kemudian hari itu sudah bisa ditebak," tutur peneliti, Dr Dexter Canoy dari Oxford University seperti dikutip dari jurnal Circulation, Rabu (24/12/2014).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk mendapatkan kesimpulan ini, peneliti mengamati riwayat kesehatan lebih dari satu juta wanita Inggris berusia 50-64 tahun selama 11 tahun. Hasilnya, 250.000 orang masuk rumah sakit atau meninggal karena komplikasi yang dipicu tekanan darah tinggi.

73.000 orang lainnya mengidap sakit jantung, sedangkan lebih dari 25.000 orang terkena serangan stroke.

Yang mengejutkan, mereka yang mengalami siklus haid pertamanya di usia 13 tahun (25 persen) memiliki risiko gangguan jantung paling rendah di antara partisipan lainnya. Sebaliknya, yang mulai haid di usia 10 tahun ke bawah berpeluang 27 persen lebih besar untuk terkena serangan jantung atau sejenisnya.

Tapi bukan hanya haid terlalu dini, yang terlalu lambat pun juga dihantui risiko serupa. Hal ini dipastikan peneliti ketika menemukan adanya kenaikan risiko sakit jantung pada satu persen partisipan yang baru mulai menstruasi di usia 17 tahun ke atas.
 
"Risiko ini bahkan masih tetap ada walaupun kami juga mempertimbangkan ukuran tubuh, kebiasaan merokok ataupun status sosioekonomi mereka," lanjut Dr Canoy.
 
Namun karena sebagian besar partisipan merupakan wanita Kaukasia atau berkulit putih, peneliti masih perlu melakukan penelitian lanjutan, terutama untuk mengungkap apakah wanita dari etnis lain atau di negara dengan tingkat ekonomi yang lebih buruk juga 'kecipratan' risiko serupa atau tidak.
 
Pakar tumbuh kembang anak, Dr dr Ahmad Suryawan, SpA(K) dari RS Dr Sutomo/FK Unair Surabaya mengatakan, agak obesitas yang dialami anak tidak makin parah, orang tua bisa menerapkan rumus 5-2-1-0.

"Yakni 5 porsi buah dan sayur dalam sehari, 2 jam maksimal menggunakan gadget dan televisi, 1 jam minimal olahraga dalam sehari, dan 0 (nol) asupan gula pada kondisi tertentu," katanya kepada detikHealth beberapa waktu lalu.
 
Bisa juga dengan membawa bekal ke sekolah agar anak tidak jajan, dan mengajak anak untuk rutin berolahraga, dalam durasi 60 menit untuk olahraga sedang atau 20 hingga 60 menit untuk olahraga berat, selama tiga hari per pekan. 

(lil/ajg)

Berita Terkait