Jakarta -
Cakupan imunisasi di Indonesia saat ini masih belum sesuai dengan target yang diharapkan. Salah satu tantangan yang tidak bisa diremehkan adalah gerakan antivaksin yang menjamur bak cendawan di musim hujan.
Menariknya, alasan yang melatarbelakangi sebagian kalangan untuk menolak vaksinasi sangat beragam. Ada yang memang tidak tahu menahu tentang manfaatnya, ada pula yang memang tidak pernah mau tahu karena memegang teguh ideologi tertentu.
Disarikan dari diskusi Pekan Imunisasi Dunia di RS Cipto Mangunkusumo pada Kamis (23/4/2015), dan dilengkapi dari berbagai sumber, berikut ini beberapa golongan antivaksin yang ada di Indonesia berdasarkan alasan yang melatarbelakanginya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Golongan kurang informasi
Sebagian masyarakat memang belum paham betul tujuan imunisasi. Ada yang merasa anaknya sehat-sehat saja sehingga tidak merasa butuh vaksin, padahal memang salah satu tujuannya adalah pencegahan.
Satu lagi yang sering tidak dipahami tentang imunisasi adalah soal kesehatan masyarakat. Penyakit-penyakit menular yang pernah dinyatakan hilang dari suatu wilayah bisa muncul lagi gara-gara ada yang satu-dua anak yang tidak divaksin.
"Golongan ini masih bisa diajak bicara. Bisa kita rangkul, kita dekati untuk diberi pemahaman," kata Prof dr Sri Rezeki Hadinegoro, SpA(K), mantan Ketua Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2. Golongan terapis-alternatif
Banyak pula gerakan antivaksin di internet yang dilatarbelakangi motif berjualan. Dengan memajang kutipan-kutipan hasil penelitian yang terkadang tidak jelas sumbernya, mereka pada akhirnya menawarkan produk atau jasa yang diklaim lebih ampuh mencegah penyakit dibanding imunisasi.
"Mereka itu kemudian jualan bekam, herbal, dan sebagainya. Boleh-boleh saja jualan seperti itu, tapi seharusnya tidak dengan mengajak orang lain untuk menolak imunisasi," kata Prof Sri.
3. Golongan penganut ideologi tertentu
Ada sebagian masyarakat yang menolak vaksin karena meyakini bahwa goresan buah kurma lebih ampuh dibanding vaksin atau obat apapun yang ada di dunia. Sebagian yang lain menolak vaksin selama belum ada lembaga yang memberikan sertifikat halal.
"Yang seperti ini nggak bisa didekati hanya oleh tenaga kesehatan. Kadang pemuka agama juga perlu turun tangan," kata Prof Sri.
4. Golongan terlalu banyak tahu
Bagi yang rajin mencari informasi di jurnal-jurnal ilmiah, persoalan vaksin dan imunisasi akan menjadi jauh lebih pelik. Suatu vaksin bisa efektif pada beberapa strain atau genotipe virus misalnya, tetapi kadang kurang efektif pada strain tertentu.
Kadang-kadang, kelompok yang terlalu banyak tahu seperti ini akan menolak vaksin karena merasa tidak 100 persen terlindungi. Kelompok ini biasanya bukan berasal dari golongan ultra religius, bukan pedagang herbal, dan justru berasal dari kalangan sangat terpelajar.
"Sebenarnya malah bagus kalau mencari tahu sendiri. Tapi pastikan, dapat infonya dari sumber yang benar-benar terpercaya," pesan Prof Sri.
Sebagian masyarakat memang belum paham betul tujuan imunisasi. Ada yang merasa anaknya sehat-sehat saja sehingga tidak merasa butuh vaksin, padahal memang salah satu tujuannya adalah pencegahan.
Satu lagi yang sering tidak dipahami tentang imunisasi adalah soal kesehatan masyarakat. Penyakit-penyakit menular yang pernah dinyatakan hilang dari suatu wilayah bisa muncul lagi gara-gara ada yang satu-dua anak yang tidak divaksin.
"Golongan ini masih bisa diajak bicara. Bisa kita rangkul, kita dekati untuk diberi pemahaman," kata Prof dr Sri Rezeki Hadinegoro, SpA(K), mantan Ketua Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Banyak pula gerakan antivaksin di internet yang dilatarbelakangi motif berjualan. Dengan memajang kutipan-kutipan hasil penelitian yang terkadang tidak jelas sumbernya, mereka pada akhirnya menawarkan produk atau jasa yang diklaim lebih ampuh mencegah penyakit dibanding imunisasi.
"Mereka itu kemudian jualan bekam, herbal, dan sebagainya. Boleh-boleh saja jualan seperti itu, tapi seharusnya tidak dengan mengajak orang lain untuk menolak imunisasi," kata Prof Sri.
Ada sebagian masyarakat yang menolak vaksin karena meyakini bahwa goresan buah kurma lebih ampuh dibanding vaksin atau obat apapun yang ada di dunia. Sebagian yang lain menolak vaksin selama belum ada lembaga yang memberikan sertifikat halal.
"Yang seperti ini nggak bisa didekati hanya oleh tenaga kesehatan. Kadang pemuka agama juga perlu turun tangan," kata Prof Sri.
Bagi yang rajin mencari informasi di jurnal-jurnal ilmiah, persoalan vaksin dan imunisasi akan menjadi jauh lebih pelik. Suatu vaksin bisa efektif pada beberapa strain atau genotipe virus misalnya, tetapi kadang kurang efektif pada strain tertentu.
Kadang-kadang, kelompok yang terlalu banyak tahu seperti ini akan menolak vaksin karena merasa tidak 100 persen terlindungi. Kelompok ini biasanya bukan berasal dari golongan ultra religius, bukan pedagang herbal, dan justru berasal dari kalangan sangat terpelajar.
"Sebenarnya malah bagus kalau mencari tahu sendiri. Tapi pastikan, dapat infonya dari sumber yang benar-benar terpercaya," pesan Prof Sri.
(up/vit)