Dijelaskan psikolog anak dan remaja Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Psi., Psi, ketika seseorang sering melakukan tindakan bullying tetapi tidak mendapatkan konsekuensi yang jelas, maka yang bersangkutan berisiko tinggi menjadi anak agresif.
"Selain agresif, mereka tidak bisa menghargai orang lain, sering memaksakan kehendak, bahkan ke depannya bisa jadi pembangkang kepada negara misalkan," ungkapnya saat berbincang dengan detikHealth, Kamis (20/7/2017).
Sedangkan dampak terhadap korban bullying diakui lebih besar daripada yang dirasakan pelaku, terutama terkait risiko depresinya.
"Sisi lainnya kalau dia menolak sekolah misalnya, itu kan perkembangan emosi dan sosialnya menjadi terbatas. Dan karena menolak sekolah, kepintarannya juga nggak terasah, itu yang kemudian memupuk masalah lain," lanjutnya.
Baca juga: Ada Tanda-tanda Ini, Perlu Curiga Anak Jadi Pelaku Bullying
Bahkan ketika dibandingkan antara dampak bullying yang dialami atau dilakukan orang dewasa, maka wanita yang akrab disapa Nina itu mengatakan anak akan merasakan dampak yang lebih kuat.
"Anak itu bisa dibilang saringannya kayak belum bener-bener jadi. Jadi dia konsep dirinya cenderung menjadi lebih buruk dan dampaknya bakal lebih kentara ketika itu (bullying, red) dialami di masa kanak-kanak," terangnya.
Baca juga: Anaknya Jadi Tukang Bully di Sekolah, Begini Sebaiknya Ortu Bersikap
Meski demikian, bila bullying dilakukan atau dialami anak-anak, proses 'pemulihan' atau terapinya bisa berjalan lebih efektif dan lebih cepat dicapai, utamanya jika durasinya sama.
"Efeknya bisa jadi lebih parah, tapi ketika betul-betul ditangani dengan bener, justru perbaikannya lebih cepat dibandingkan ketika itu dilakukan pada orang dewasa," papar psikolog yang berpraktik di Klinik Terpadu Universitas Indonesia dan TigaGenerasi tersebut.
Baca juga: Trauma Karena Bullying, Risikonya Depresi Hingga Bunuh Diri (lll/fds)