Jakarta -
Menikah ataupun melajang itu merupakan pilihan, tidak selalu bisa dipaksakan. Sebagai pilihan, tentu ada risiko yang harus ditanggung termasuk dalam kaitannya dengan kesehatan. Lalu mana yang lebih menyehatkan, lajang atau menikah?
Berbagai penelitian yang membandingkan kedua status ini tidak pernah menunjukkan hasil yang konsisten. Memang banyak faktor yang mempengaruhi, termasuk komponen kesehatan yang dibandingkan. Kadang menikah lebih sehat, tetapi melajang juga tidak selalu buruk.
Berikut ini beberapa hal yang sering dibandingkan antara orang menikah dengan para lajang, seperti dirangkum detikHealth Jumat (15/2/2013).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Risiko kanker pada laki-laki
Ilustrasi (dok: Thinkstock)
|
Salah satu manfaat menikah bagi para laki-laki adalah keleluasaan untuk melakukan hubungan seks secara teratur. Menurut berbagai penelitian, hubungan seks secara teratur bisa mengurangi risiko kanker prostat.
Namun apakah itu berarti menikah lebih sehat dibandingkan melajang? Belum tentu. Meski berhubungan seks ada manfaatnya bagi kesehatan, bukan berarti ada bahaya jika tidak dilakukan. Penelitian 30 tahun silam menunjukkan, tidak ada peningkatan risiko kanker prostat pada biarawan di Nepal dan Italia yang hidup selibat atau tidak menikah.
2. Risiko kanker pada perempuan
Ilustrasi (dok: Thinkstock)
|
Pada perempuan, risiko beberapa jenis kanker dipengaruhi juga oleh status pernikahan. Kanker payudara misalnya, risikonya meningkat jika perempuan masih lajang hingga usia 35 tahun. Pemicunya adalah faktor hormonal karena tidak kunjung hamil dan menyusui.
Sebaliknya, aktivitas seksual pada sebagian perempuan justru meningkatkan risiko kanker leher rahim. Itulah sebabnya, pernikahan di usia terlalu muda tidak dianjurkan karena meningkatkan kerentanan terhadap infeksi HPV (Human Papilloma Virus) penyebab kanker leher rahim.
3. Risiko stres
Ilustrasi (dok: Thinkstock)
|
Tidak adanya partner untuk saling berbagai bisa meningkatkan risiko stres dan depresi pada para jomblo alias lajang. Celakanya menurut penelitian di Ohio State University, stres bisa memicu radang atau inflamasi di berbagai bagian tubuh. Risikonya bermacam-macam, mulai dari gangguan jantung dan pembuluh darah hingga pertumbuhan sel-sel kan kanker.
4. Risiko kegemukan dan sindrom metabolik
Ilustrasi (dok: Thinkstock)
|
Sebuah penelitian di Universitas Princeton membuktikan bahwa pernikahan bisa mengurangi risiko sindrom metabolik yang erat kaitannya dengan kegemukan. Dibandingkan orang dewasa yang terlalu lama melajang, pasangan suami istri lebih terhindar dari risiko tersebut.
Bagkan pada perempuan, pernikahan yang tidak bahagia tetap memberikan efek perlindungan dari sindrom metabolik. Terbukti yang tetap mempertahankan pernikahan saat cekcok, risikonya tetap lebih rendah 40 persen dibandingkan memutuskan untuk menjadi janda.
5. Risiko sakit jantung dan penyakit kronis lainnya
Ilustrasi (dok: Thinkstock)
|
Sebuah penelitian di Brigham and Women's Hospital menunjukkan bahwa punya pasangan bisa mengurangi berbagai risiko penyakit kronis yang memicu kematian dini. Faktor kebersamaan adalah kuncinya, sebab antara pasangan bisa saling mengingatkan untuk bersama-sama menjaga kesehatan.
Dalam penelitian tersebut, 11,4 persen partisipan yang tidak memiliki pasangan meninggal karena berbagai sebab terutama karena sakit kronis. Pada kelompok responden yang punya pasangan, angka kematian dalam 4 tahun berikutnya lebih kecil yakni 9,3 persen.
Salah satu manfaat menikah bagi para laki-laki adalah keleluasaan untuk melakukan hubungan seks secara teratur. Menurut berbagai penelitian, hubungan seks secara teratur bisa mengurangi risiko kanker prostat.
Namun apakah itu berarti menikah lebih sehat dibandingkan melajang? Belum tentu. Meski berhubungan seks ada manfaatnya bagi kesehatan, bukan berarti ada bahaya jika tidak dilakukan. Penelitian
30 tahun silam menunjukkan, tidak ada peningkatan risiko kanker prostat pada biarawan di Nepal dan Italia yang hidup selibat atau tidak menikah.
Pada perempuan, risiko beberapa jenis kanker dipengaruhi juga oleh status pernikahan. Kanker payudara misalnya, risikonya meningkat jika perempuan masih lajang hingga usia 35 tahun. Pemicunya adalah faktor hormonal karena tidak kunjung hamil dan menyusui.
Sebaliknya, aktivitas seksual pada sebagian perempuan justru meningkatkan risiko kanker leher rahim. Itulah sebabnya, pernikahan di usia terlalu muda tidak dianjurkan karena meningkatkan kerentanan terhadap infeksi HPV (Human Papilloma Virus) penyebab kanker leher rahim.
Tidak adanya partner untuk saling berbagai bisa meningkatkan risiko stres dan depresi pada para jomblo alias lajang. Celakanya menurut penelitian di Ohio State University, stres bisa memicu radang atau inflamasi di berbagai bagian tubuh. Risikonya bermacam-macam, mulai dari gangguan jantung dan pembuluh darah hingga pertumbuhan sel-sel kan kanker.
Sebuah penelitian di Universitas Princeton membuktikan bahwa pernikahan bisa mengurangi risiko sindrom metabolik yang erat kaitannya dengan kegemukan. Dibandingkan orang dewasa yang terlalu lama melajang, pasangan suami istri lebih terhindar dari risiko tersebut.
Bagkan pada perempuan, pernikahan yang tidak bahagia tetap memberikan efek perlindungan dari sindrom metabolik. Terbukti yang tetap mempertahankan pernikahan saat cekcok, risikonya tetap lebih rendah 40 persen dibandingkan memutuskan untuk menjadi janda.
Sebuah penelitian di Brigham and Women's Hospital menunjukkan bahwa punya pasangan bisa mengurangi berbagai risiko penyakit kronis yang memicu kematian dini. Faktor kebersamaan adalah kuncinya, sebab antara pasangan bisa saling mengingatkan untuk bersama-sama menjaga kesehatan.
Dalam penelitian tersebut, 11,4 persen partisipan yang tidak memiliki pasangan meninggal karena berbagai sebab terutama karena sakit kronis. Pada kelompok responden yang punya pasangan, angka kematian dalam 4 tahun berikutnya lebih kecil yakni 9,3 persen.
(up/vta)