Dari sebuah studi yang dilakukan oleh mahasiswa pascasarjana Donald Robinaugh dan profesor psikologi Richard McNally dari Harvard University terungkap bahwa kematian orang yang dicinta merupakan salah satu pengalaman paling menyedihkan yang dapat dihadapi seseorang.
Pada sebagian besar kasus, kedukaan ini memang akan hilang seiring dengan berjalannya waktu. Tapi bagi orang yang menderita complicated grief (kedukaan yang disertai dengan gangguan mental seperti depresi, cemas dan emosi serta perilaku terganggu), mereka akan cenderung terus merindukan orang yang dicintainya, menunjukkan emosi negatif serta merasa putus asa dengan masa depannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Robinaugh dan McNally pun tertarik dengan paradoks kognitif ini sehingga terbersit pertanyaan lain dalam benak mereka: apakah ingatan tentang almarhum pasangan juga membentuk pola pikir penderita complicated grief tentang masa depannya?
Untuk mencari tahu jawabannya, peneliti merekrut sejumlah orang dewasa yang baru saja kehilangan pasangannya dalam kurun waktu satu hingga tiga tahun belakangan. Sejumlah partisipan memang terlihat menunjukkan tanda-tanda complicated grief, sedangkan beberapa partisipan lainnya cenderung memperlihatkan tanda-tanda dukacita yang lebih tipikal.
Kemudian setiap partisipan diminta melakukan serangkaian tes untuk menilai seberapa jauh ingatan mereka tentang kenangan-kenangan di masa lalu dan kemampuan mereka untuk membayangkan kejadian di masa depan, baik dengan atau tanpa almarhum.
Partisipan juga diminta menggambarkan kejadian spesifik tertentu jika peneliti mengajukan sejumlah kata-kata positif (misal aman, bahagia, sukses, dicintai) dan kata-kata negatif (seperti sakit, sedih, takut, marah).
Dari situ diketahui bahwa partisipan yang menderita complicated grief menunjukkan penurunan kemampuan untuk mengingat kenangan otobiografi spesifik serta membayangkan kejadian tertentu di masa depan dibandingkan dengan partisipan yang hanya merasakan dukacita yang biasa saja, terutama untuk kejadian yang tidak mengikutsertakan almarhum. Namun partisipan tersebut tak menemukan hambatan berarti saat diminta menjelaskan peristiwa yang melibatkan pasangannya yang telah meninggal.
"Yang mengejutkan kami adalah individu yang menderita complicated grief lebih mudah membayangkan masa depan dengan almarhum dibandingkan jika tanpa almarhum," tandas Robinaugh dan McNally seperti dilansir dari timesofindia, Rabu (20/3/2013).
"Selain itu, mereka terus berulangkali membayangkan peristiwa penting seperti kelahiran anak pertama atau ultah pernikahan emas yang tentu saja sebenarnya mustahil. Tapi masa depan yang serba mustahil ini justru telah dibayangkan oleh si penderita ketimbang peristiwa yang terjadi secara realistis dalam waktu dekat," lanjut mereka.
Untuk itu, studi ini mendorong pentingnya setiap orang agar memiliki tujuan dan aspirasi untuk masa depannya jika suatu ketika orang yang dicintai atau pasangannya meninggal dunia. Pasalnya, ini merupakan salah satu komponen terpenting dalam masa pemulihan, terutama dari pengalaman kehilangan yang menyakitkan.
Studi ini telah dipublikasikan dalam jurnal Clinical Psychological Science.
(vit/vit)











































