"Gejala klinisnya saat, sesaat atau setelah ketuban pecah bahkan ada yang dua hari setelah melahirkan, ibu tiba-tiba mengalami hipotensi (tekanan darah rendah), gagal napas, kejang, mengalami kegagalan sistem kebekuan, dan gawat janin," papar dr Yudianto Budi Saroyo SpOG(K) dalam simposium mini mengenai 'Risiko Tindakan Medik dalam Praktik Kebidanan' di RS Cipto Mangunkusumo, Jl Salemba Raya, Jakarta, Rabu (27/11/2013).
Menurut dr Yudianto, emboli air ketuban awalnya terjadi pada beberapa wanita yang sesaat setelah persalinan meninggal. Setelah diautopsi ditemukan sel gepeng, sehingga tubuh ibu mengalami reaksi berupa peradangan seperti orang yang alergi terhadap antibiotik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jika kondisi itu terjadi, kita seperti dikepung dengan tiga situasi yang seperti lingkaran setan," imbuhnya.
Pada kasus emboli air ketuban, dr Yudianto menuturkan bahwa kematian bayi risikonya lebih kecil dibanding ibu. Pada ibu, risiko kematian bisa mencapai 80 persen.
Secara teoritis, menurut dr Yudianto, emboli air ketuban bisa mengakibatkan dampak fatal sebab ada benda asing yang masuk melalui sistem pertahanan tubuh ibu sehingga mengganggu sistem sirkulasi darah di paru-paru dan jantung. "Jadi emboli air ketuban itu bersifat katastropik karena belum bisa ditangani dengan baik dan unpredictable. Serta tidak ada penatalaksanaan yang spesifik. Yang terpenting dibutuhkan kerja sama yang baik, semua sistem RS harus diaktifkan untuk menolong si ibu," terang dr Yudianto
"Semuanya harus agresif, misalnya segera pasang infus, beri obat-obat vasoaktif, dan pastinya pasien harus dirawat di ICU," sambungnya.
(up/vit)











































