Menurut seorang psikologi sosial asal Prancis, Laurent Begue, bergosip bagaikan 'guilty pleasure' bagi banyak orang. Orang-orang sudah tahu bahwa bergosip itu adalah hal yang tidak seharusnya dilakukan, tapi nyatanya malah paling umum dilakukan. Lantas, mengapa itu bisa terjadi?
"Secara tidak disadari, bergosip adalah suatu kegiatan yang mampu membangun ikatan sosial. Bahkan ikatan sosial yang terbangun akan jauh lebih kuat dibangun melalui membagi hal melalui gosip dibanding ketika orang-orang membagi hal-hal yang positif," ungkap Begue, seperti dikutip Net Doctor UK, Senin (17/3/2014).
"Karena, sekitar 60 persen dari gosip itu kan adalah hal-hal yang sebenarnya tidak sedang terjadi. Bahkan bisa dikatakan sebagai judgement," tambahnya.
Seorang jurnalis dan kritikus senior Inggris, Nicholas Lezard menyatakan bahwa bergosip itu menghadirkan hasrat berperilaku yang tidak akan dapat memuaskan. Itulah sebabnya orang akan terus bergosip karena mereka tidak akan puas jika hanya bergosip sekali.
Selain membangun ikatan sosial yang lebih kuat, bergosip ternyata juga berperan bagi pengembangan otak. Hal ini diungkapkan oleh Robin Dunbar, seorang antropolog dan psikolog dari Inggris.
"Orang yang suka bergosip akan merasa perlu menjaga ingatannya untuk menyebarkan gosip tersebut. Inilah salah satu faktor yang vital dalam pengembangan otak," tuturnya.
Kendati demikian, gosip tetaplah dinilai sebagai perilaku yang tidak seharusnya untuk dilakukan. Bègue mengungkapkan bahwa bergosip adalah suatu aktivitas yang sangat berisiko buruk. "Sebuah penelitian menunjukkan bahwa hal itu (bergosip) bisa berisiko menciptakan rasa ketidakpercayaan," ujar Begue.
(vit/vit)











































