Logam berat merkuri (Hg) masih banyak digunakan di tambang-tambang emas skala kecil yang tersebar di seluruh Indonesia. Paparan dalam jangka panjang menyebabkan intoksikasi atau keracunan kronis.
"Indonesia termasuk peringkat tertinggi untuk intoksikasi merkuri," kata Dr Stephan Bose-O'Reilly, pakar kesehatan lingkungan dari University Hospital, Munich, Selasa (21/10/2014).
Ditemui dalam Pelatihan untuk Mengenali Keracunan Merkuri di Tambang Skala Kecil yang diadakan BaliFokus di Wisma PGI Menteng, Jakarta Pusat, Dr Stephan menyebut dampak keracunan merkuri tidak hanya dialami para petambang. Orang-orang yang tinggal di sekitar aliran sungai juga ikut keracunan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di dalam tubuh, keracunan merkuri akan merusak cerebellum atau otak kecil. Berbagai fungsi organ yang berhubungan dengan otak kecil akan terganggu, terutama fungsi motorik. Gejala yang mudah diamati adalah tremor atau gemetaran, serta ataksia atau limbung. Namun gejala tersebut baru muncul setelah akumulasi selama 5-10 tahun.
Konvensi Minamata memang masih mengizinkan merkuri digunakan untuk tambang emas skala kecil. Namun dalam praktiknya, tidak ada pengawasan yang cukup di lapangan. Senior advisor BaliFokus, Yuyun Ismawati bahkan menyebut sebagian besar merkuri yang beredar di Indonesia diimpor secara ilegal.
"Mengatasi hal-hal teknis itu mudah. Impor merkuri bisa disetop, merkurinya sendiri bisa diganti. Tapi dampaknya itu yang tidak tergantikan," kata Yuyun.
Di lingkungan, racun merkuri bisa bertahan hingga 150 tahun. Emisi merkuri dari tambang emas diperkirakan mencapai 37 persen dari emisi global, atau mencapai 727 ton/tahun. Angka ini lebih tinggi dibanding emisi merkuri dari pembakaran batubara.
(up/vit)











































