Trauma Pasca Perang Sudah Ada Sejak 1.000 Tahun Sebelum Masehi

Trauma Pasca Perang Sudah Ada Sejak 1.000 Tahun Sebelum Masehi

- detikHealth
Senin, 26 Jan 2015 17:13 WIB
Trauma Pasca Perang Sudah Ada Sejak 1.000 Tahun Sebelum Masehi
Ilustrasi (Foto: Getty Images)
Cambridge, Inggris - Seiring dengan kemajuan zaman, beragam penyakit baru dengan nama-nama yang aneh bermunculan. Dan post-traumatic stress disorder atau trauma pasca bencana/konflik bisa jadi salah satunya. Namun gangguan mental ini diduga bukanlah produk manusia moderen.

Setidaknya inilah yang dikemukakan tim peneliti dari Anglia Ruskin University, Inggris. Prof Jamie Hacker Hughes mengatakan selama ini banyak peneliti yang menganggap deskripsi pertama tentang PTSD dikemukakan oleh sejarawan Yunani, Herodotus.

Herodotus pada waktu itu menceritakan bahwa sepulangnya dari perang Marathon di tahun 490 SM (sebelum Masehi), seorang prajurit Yunani bernama Epizelus 'tiba-tiba kehilangan penglihatan di kedua matanya, padahal tak ada seorang pun yang menyentuhnya'. Dan oleh kebanyakan peneliti, pernyataan ini dianggap sebagai deskripsi awal dari PTSD.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun Prof Hughes berargumen ada referensi yang lebih tua dari itu, tepatnya terjadi pada masa Dinasi Assyria di Mesopotamia atau Irak kuno. Dinasti ini memerintah antara tahun 1.300 SM hingga 609 SM.

Mantan konsultan psikologi klinis di Kementerian Pertahanan Inggris itu mengaku berhasil menganalisis terjemahan dari berbagai naskah yang ditemukan di Mesopotamia dan dari situ mereka menemukan fakta menarik.

Salah satu dari isi naskah tersebut menyebutkan para tentara Mesopotamia yang kembali dari medan perang mengaku kerap dikunjungi 'arwah atau hantu dari musuh maupun orang-orang yang mereka bunuh selama perang berlangsung'. Dan Prof Hughes berpendapat keterangan ini sesuai dengan gejala dari kondisi yang selama ini dikenal sebagai PTSD.

"Dijelaskan dalam transkrip itu, mereka yang pulang dari perang menunjukkan gejala-gejala yang mengarah kepada PTSD, seperti mendengar suara-suara atau merasa diajak berbicara dengan hantu, yang bisa jadi orang-orang yang mereka bunuh di medan perang," tandas Prof Hughes seperti dikutip dari BBC, Senin (26/1/2015).

Prof Hughes menegaskan gejala ini sama persis dengan yang ditemukan pada tentara moderen yang baru saja kembali dari penugasan di medan konflik, terutama yang pernah merasakan pertempuran fisik.

Hanya saja PTSD baru diakui sebagai kondisi mental berupa trauma pasca perang, bencana maupun konflik ini oleh dunia setelah meletusnya Perang Vietnam. Pada era Perang Dunia I, kondisi semacam ini masih dianggap sebagai gangguan saraf akibat peperangan, bukannya gangguan psikologis.

"Jadi sepanjang ada peradaban, ada peperangan, maka akan terus ada gejala trauma seperti ini. Dan yang pasti ini bukan produk masyarakat moderen," tutup Prof Hughes.


(lil/vit)

Berita Terkait