Selain Farhan di Bantul, Vivi di Sleman Juga Mengidap Kondisi Langka CdLS

Cornelia de Lange Syndrome (3)

Selain Farhan di Bantul, Vivi di Sleman Juga Mengidap Kondisi Langka CdLS

Rahma Lillahi Sativa - detikHealth
Selasa, 22 Sep 2015 13:39 WIB
Selain Farhan di Bantul, Vivi di Sleman Juga Mengidap Kondisi Langka CdLS
Foto: Rahma Lillahi Sativa
Yogyakarta - Vivi lahir pada tanggal 30 September 2009, hanya telat satu hari dari HPL (Hari Perkiraan Lahir) yang semula diprediksi bidannya. Bayi Vivi tampak normal, meski berat lahirnya hanya 2.000 gram.

"Selama kehamilan saya cuma muntah terus selama 4 bulan, selain itu nggak ada masalah," tutur Tusiati dalam perbincangannya dengan detikHealth dan ditulis Selasa (22/9/2015).

Karena berat lahir Vivi yang di bawah ideal, bidan yang membantu persalinan Tusiati, atau lebih akrab disapa Tusi, menyarankan agar Vivi diinkubasi di rumah. Tusi mengaku Vivi menjalani inkubasi hingga tiga bulan lamanya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tapi masuk usia 7 bulan berat badannya kok nggak naik-naik, cuma 7 kg, kisarannya cuma segitu-segitu aja," keluhnya.

Ia pun disarankan untuk memeriksakan keadaan Vivi ke RS Grhasia. Menurut Tusi, ketika dokter anak di rumah sakit itu memeriksa wajah Vivi, ia memperlihatkan ekspresi keheranan, apalagi wajahnya juga berbeda dengan ayah-ibunya. 

Sang dokter juga tak luput memeriksa tangan dan kaki Vivi. "Saya diminta fotoin juga trus dikasih pengantar ke dr Sunartini," kisahnya.

Vivi dan sang ibu, Tusiati (Foto: Rahma Lillahi Sativa)

Tusi kemudian membawa putrinya ke klinik yang dimiliki Prof Dr Sunartini Hapsara, SpA(K), PhD. Tusi mengaku demi memeriksakan putri mereka, ia dan suaminya, Purwanto sampai harus meminjam mobil, mengingat kediaman mereka di Dusun Candi, Desa Girikerto, Turi, Sleman berjarak puluhan kilometer dari klinik tersebut.

"Sampe sana udah langsung ketahuan kalo CdLS (Cornelia de Lange Syndrome), diliat telapak tangan, alis, kakine. Dari fotonya juga kan keliatan. Bu Sunartini bilang ini pertumbuhannya agak lambat nggih Bu, nggak apa-apa," tandasnya.

Baca juga: Kisah Rita, Ibu Muda di Bantul yang Merawat Anak dengan Sindrom Langka

Tusi mengaku mendapat pengalaman unik saat dihadapkan pada kondisi putrinya, terutama dari orang-orang di sekitarnya. Tusi meyakini niat mereka baik, namun caranya memang di luar akal sehat.

"Dulu nyabeti welut (belut) saya lakoni, lha wong ya nuruti orang tua. Tiap Jumat Kliwon saya siapin (kue) apem. Atau kalau nggak dibawa ke orang pinter, diminta bawa mediasi-mediasi kayak kembang, daging ayam, telur ayam kampung," ungkapnya.

Wanita berusia 31 tahun ini sebenarnya tidak percaya, tapi ia hanya menuruti saran orang tua dan orang-orang yang peduli kepadanya. Ia semakin yakin bila pilihannya benar saat mengetahui tak ada perubahan berarti pada sang putri.

Hingga usia 7 bulan, Vivi belum bisa apa-apa, hanya telentang di tempat tidurnya. Pada saat itulah ia mulai diarahkan untuk memberikan fisioterapi pada putri semata wayangnya itu.

Dalam kesempatan terpisah, Prof Sunartini yang juga pakar tumbuh kembang dari RS Dr Sardjito menjelaskan secara singkat bahwa CdLS merupakan kelainan bawaan. Ciri-cirinya yang paling menonjol memang terletak pada wajahnya.

"Jadi rambutnya lebat, alisnya hitam dan menyatu," tuturnya.

Di samping itu, anak dengan CdLS biasanya juga mengalami gangguan sekunder seperti gangguan penglihatan, pernapasan, maupun pencernaan. Namun menurut Prof Sunartini, gangguan pernapasan merupakan yang paling sering ditemukan. "Tapi di mana-mana tiap anak kasusnya tidak ada yang sama," tegasnya.

Bersambung...

Baca juga: Anak Dipuji karena Alisnya Tebal, Padahal Gejala Sindrom Langka (lll/up)

Berita Terkait