"Tiap ada grup untuk anak-anak prematur, saya posting foto Farhan, saya kenalkan anaknya, diagnosanya seperti ini. Trus ada satu ibu yang mengenalkan saya dengan sesama ortu CdLS, yaitu Mas Koko dari Solo. Setelah dikonfirmasi dan minta nomor telepon, saya langsung dihubungi, diajak masuk ke komunitas," kisah Rita kepada detikHealth dan ditulis Selasa (22/9/2015).
Koko atau Koko Prabu merupakan salah satu pegiat grup Indonesia Cornelia de Lange Syndrome Family. Koko juga memiliki anak dengan CdLS bernama Muhammad Habib Atthariq atau lebih akrab disapa Oyik.
Di grup itulah Rita bertemu dengan rekan-rekan seperjuangannya. Rita mengaku resmi bergabung dalam komunitas tersebut pada kisaran bulan Mei-Juni lalu. Namanya juga kondisi langka, total anggotanya sendiri baru 21 orang.
"Di Jogja ada 3, di Purwokerto 2, Medan 1, di Dompu juga ada 1. Ada juga yang di Kanada, kebetulan anaknya yang ke-2 CdLS. Kami mendapat banyak tambahan informasi yang langsung dipasok dari sana," paparnya.
![]() |
Meskipun tinggal berjauhan dan nyaris tak pernah bertemu, seluruh anggota komunitas mengenal satu sama lain dengan baik, terutama kondisi anak masing-masing. Dari situ juga Rita menyimpulkan bahwa kondisi satu anak dengan yang lain sama sekali berbeda.
"Sebagian besar fungsi intelektualnya terganggu, kontak mata dan telinga nggak ada, kecuali yang ringan seperti Farhan. Ciri khasnya juga di muka aja. Tapi dengan adanya CdLS Family, kita bisa kumpulkan datanya dan mengetahui kondisi tiap anak seperti apa," jelasnya.
Baca juga: Salut! Begini Orang Tua Anak CdLS Hadapi Tantangan pada Buah Hati Mereka
Rita dan teman-temannya juga aktif menjangkau para orang tua dengan anak CdLS yang mungkin tidak memperoleh akses internet. "Informasi dari terapis di RS Dr Sardjito, ada anak yang kondisinya kayak Farhan. Saya sengaja datang ke rumah sakit hanya untuk ketemu dan kenalan. Orang tuanya ternyata nggak aktif di media sosial," tambahnya.
Tusiati asal Sleman, orang tua Vivi yang juga mengidap CdSL juga 'ditemukan' oleh komunitas Indonesia CdLS Family lewat tangan salah seorang pegiat lain. Kepada detikHealth, Tusi berkisah ia pernah mendatangi sebuah forum untuk anak-anak cerebral palsy di Yogyakarta dan bertemu dengan Vita, sesama orang tua anak dengan CdLS dari Purwokerto.
"Mbak Vita itu yang inisiatif meminta data anak CdLS ke dr Sunartini, kemudian saya dihubungi. Ya ketemu langsung cuma sama Mbak Vita itu, sama Mbak Rita aja belum pernah," tuturnya sambil tersenyum simpul.
Adanya kesamaan visi menggerakkan para orang tua dengan anak CdLS untuk aktif di komunitas. Mereka berharap kesadaran dan wawasan masyarakat tentang CdLS menjadi luas karena jumlah anak dengan CdLS menjadi patut diperhitungkan.
Rita menuturkan, Indonesia Cornelia de Lange Syndrome melalui Koko juga telah mengirimkan surat ke Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial agar keberadaan anak-anak CdLS di Indonesia diakui. "Kebanyakan membutuhkan fasilitas kesehatan, misal kalau batuk-batuk butuh nebulizer, atau buat mereka yang harus pakai kursi roda. Ada juga yang harus pakai alat bantu untuk makan," papar Rita.
Selain menyebar leaflet tentang CdLS serta aktif di berbagai komunitas penyandang difabilitas, Koko juga meluncurkan buku bertajuk 'Anakku CdLS'.
"Kalau pemerintah memperhatikan, anak-anak dengan CdLS yang tinggalnya di pedesaan bisa dijangkau, atau untuk mereka yang kondisinya betul-betul membutuhkan perawatan dan alat-alat medis yang saya sebutkan tadi bisa terbantu," imbuh Rita.
Harapan Rita dan Tusi pun tak muluk-muluk. Keduanya ingin Farhan dan Vivi kelak bisa hidup mandiri. "Orang kan tahunya cerebral palsy, down syndrome, tapi kami juga pengen CdLS diakui, jadi akses kesehatan maupun pendidikannya dipermudah," ungkap Tusi menutup perbincangannya dengan detikHealth.
Baca juga: Perjuangan Rita dan Tusi Membesarkan Anak-anak dengan Sindrom Langka
(lll/up)