Anak laki-lakinya, Hilmi (17) terlahir dengan glaukoma yang memberinya gangguan low vision. Umur 5 tahun, dinyatakan oleh dokter bahwa kondisi sang buah hati tidak mungkin disembuhkan. Hikmah harus menerima kenyataan, anaknya menjadi tunanetra.
"Saya akui banyak kesalahan dalam mendidik Hilmi. Dulu, biar dia mau belajar Braille sampai saya teteskan lilin di jarinya," kenang Hikmah di sela-sela outing class untuk tunanetra di Lapangan Randu, Kebun Raya Bogor, Sabtu (17/10/2015).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: 15 Menit Menjadi Tunanetra Bikin Ibu Ini Terisak Haru
Sejak saat itu Hikmah membuka diri untuk belajar. Dari para dokter maupun komunitas orang tua dengan anak tunanetra, ia mendapat banyak pengetahuan berharga tentang cara-cara yang benar untuk mendidik anak berkebutuhan khusus seperti Hilmi.
"Di angkot, selalu ada yang merhatiin lalu tanya 'anaknya nggak lihat ya?' dan selalu saya arahkan Hilmi untuk menjawab sendiri pertanyaan semacam itu. Tiap kali pindah rumah, yang pertama kali saya lakukan ke tetangga adalah memperkenalkan bahwa anak saya tunanetra," kata Hikmah.
Banyak keuntungan yang dirasakan Hikmah dengan keputusannya untuk membuka diri seperti itu. Dengan mengetahui kondisi Hilmi, lingkungan di sekitar mereka akan cenderung lebih bisa menerima dan tidak mencemoohnya.
Banyak anak berkebutuhan khusus tidak seberuntung Hilmi. Dituturkan oleh Hikmah, di lingkungan tempat tinggalnya sendiri juga ada anak dengan Down Syndrome yang 'diumpetin' oleh orang tuanya. Banyak alasan orang tua memperlakukan anaknya demikian, mulai dari malu hingga benar-benar tidak tahu harus disekolahkan di mana.
Saat ini, Hilmi belajar di sebuah Sekolah Luar Biasa (SLB). Pernah suatu ketika Hilmi masuk pesantren, namun hanya bertahan 3 bulan. Sang ibu, Hikmah tidak mau menyalahkan siapapun. Baginya, itu berarti Hilmi belum cukup siap untuk mandiri di tempat tersebut.
Walau anaknya harus belajar di SLB, Hikmah tidak merasa kecewa. Baginya jauh lebih membahagiakan melihat sang anak dengan segala kondisinya tetap mengejar cita-citanya sebagai penghafal Al Quran di tempat lain daripada memaksakan sang anak belajar di sekolah umum.
"Satu kata yang saya nggak suka adalah 'kasihan'. Karena kasihan itu juga akhirnya banyak yang jadi peminta-minta," pungkasnya.
Baca juga: CT Foundation Dukung Perpustakaan Online untuk Tunanetra
(up/lll)











































