Diungkapkan Aria Indrawati, Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni), masyarakat awam umumnya tidak memahami apa itu low vision. "Secara fisik mata, mereka masih memiliki penglihatan tapi kan sebetulnya penglihatannya antara 10-20 persen. Dipikirnya anaknya masih bisa melihat seperti anggota keluarga yang lain, padahal anaknya sudah mengalami gangguan penglihatan," terangnya.
Jangankan masyarakat, lanjut Aria, bahkan di kalangan dokter mata di Indonesia, pengetahuan tentang low vision juga masih minim. Akibatnya mereka tidak memahami tindak lanjut seperti apa yang harus dilakukan ketika berhadapan dengan pasien low vision.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aria mengatakan kendati low vision bersifat permanen, namun sisa penglihatan yang ada masih dapat dioptimalkan agar penyandang dapat berfungsi seperti orang kebanyakan dengan memberikan alat bantu.
"Jadi setelah dokter mata memutuskan seseorang mengalami gangguan penglihatan yang permanen, tidak bisa dikoreksi lagi tetapi masih punya sisa penglihatan antara 10-20 persen, lalu apa yang harus dilakukan, harus ada layanan lanjutan. Itu yang kita coba sediakan di sini," ungkapnya.
Baca juga: Cerita Hikmah, Mendidik Anak untuk Mandiri Meski Tak Bisa Melihat
Sayangnya Pertuni sendiri belum mengantongi data pasti terkait jumlah penyandang low vision di Indonesia. Aria juga mengaku tak memiliki data daerah mana di Indonesia yang memiliki jumlah penyandang low vision terbanyak, karena pendataan terhadap penyandang low vision memang belum pernah dilakukan di Indonesia.
"Kami sudah melakukan awareness ke sekolah-sekolah, cuman kan kemampuan kami terbatas, jadi kami lakukan yang bisa dilakukan dulu. Di samping itu kami terus berbicara kepada pemerintah, salah satunya dengan mengundang Bang Andy F Noya. Mudah-mudahan ini akan mendorong pemerintah untuk menjangkau penyandang low vision yang belum terjangkau," harap Aria.
Dalam kesempatan terpisah, Andy F Noya selaku Ketua Komite Mata Nasional mengakui jika perhatian terhadap mereka yang mengalami gangguan penglihatan seperti gangguan refraksi dan low vision masih rendah.
"Mereka ini selalu dianggap ah masih bisa lihat ini. Seperti mbak Aria ini, masih kelihatan sehat. Padahal mereka juga harus mendapat perhatian," timpal Andy.
Baca juga: Pusat Layanan Low Vision Pertama di Indonesia Hadir di Yogyakarta
Harapan Aria tak muluk-muluk. Wanita berumur 50-an tahun tapi masih nampak gesit itu berharap jika terdeteksi dan tertangani sejak dini, anak-anak dengan low vision bisa tumbuh menjadi sumber daya manusia yang tak hanya berkualitas tetapi juga mandiri, seperti halnya dirinya.
"Saya sudah ketahuan low vision sejak umur tiga tahun," ungkap Aria kepada detikHealth, ditemui usai peresmian Low Vision Center di Yogyakarta, Senin (19/10/2015).
Meski awalnya disekolahkan di SLB (Sekolah Luar Biasa), Aria kecil kemudian melanjutkan pendidikannya ke sekolah umum, namun untuk menulis dan membaca, ia tetap menggunakan huruf Braille untuk membaca dan menulis. Sedangkan sisa penglihatannya yang sebesar 10-15 persen, dipakai Aria untuk menunjang mobilitas dan aktivitas harian lainnya, seperti memasak dan berolahraga.
Aria pun membuktikan bahwa dirinya memiliki kemampuan yang sama dengan rekan-rekan sebayanya. Lulus dari perguruan tinggi, ia mulai mengajar di universitas tempatnya belajar dengan menjadi asisten dosen. "Awalnya ketua yayasan ragu, tapi setelah saya membuktikan, saya malah ajdi rebutan dosen-dosen di sana," kenangnya sambil tersenyum.
Usaha Aria berbuah manis. Selain mendapat pekerjaan tetap, ia sudah bisa tidak mendapatkan subsidi dari orang tuanya sejak berumur 24 tahun. "Saya bahkan bisa mengajak ayah jalan-jalan dengan uang saya sendiri. Itu karena saya sekolah, karena dengan sekolah itu kita bisa melihat atau menciptakan peluang untuk berkarya," tuturnya.
Di sisi lain, Aria berharap klinik Low Vision Center yang dirintis Pertuni bisa menjadi model percontohan sekaligus memberikan wawasan kepada seluruh pemangku peran, terutama yang berkecimpung di bidang kesehatan mata, bahwasanya layanan atau klinik seperti ini seharusnya ada di setiap rumah sakit, khususnya rumah sakit-rumah sakit pemerintah.
(lll/up)











































